Al-Ashlu fil Asy-yaa’i al-Ibahah: Prinsip Kebebasan dalam Islam yang Berlandaskan Dalil

*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana
Staf Pengajar AIK UMM
www.majelistabligh.id -

Hukum asal segala sesuatu dalam Islam adalah halal (mubah) kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Ini berarti bahwa setiap benda, makanan, minuman, atau aktivitas pada dasarnya boleh digunakan atau dilakukan, selama tidak ada larangan khusus dalam Al-Quran atau hadis.

Kaidah ushul muamalah adalah prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam yang mengatur hubungan sosial dan ekonomi antar manusia. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan) kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Kaidah “al-ashlu fil asy-yaai al-ibahah”

(الأصل في الأشياء الإباحة)

adalah salah satu kaidah fiqih yang dipegang oleh jumhur ulama, termasuk kalangan Syafi’iyyah, yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah”.

Maksudnya, jika sesuatu tidak ada penjelasannya yang tegas dalam nash Syariat tentang halal-haramnya, maka ia halal hukumnya.

Atau yang serupa dengan itu:

أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

“Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.” (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil kaidah ini adalah:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

Dalil As Sunnah:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”

(HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya:hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan:hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalamShahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan.

Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Oleh karena itu, Imam Muhammad At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

“Dia –Subhanahu wa Ta’ala– seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya.” (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

Allah Ta’ala berfirman:

وسخر لكم ما في السماوات وما في الأرض جميعا منه

“Dan Dia telah menundukkan untuk kalian semua yang ada di langit dan di bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)

Berdasarkan Ayat di atas dan Ayat-Ayat semisal, Allah ta’ala menjelaskan bahwa Dia menciptakan dan menundukkan semua yang di langit dan di bumi untuk manusia, dan itu berarti hukum asal untuk semua hal tersebut adalah halal dan mubah digunakan.

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ما أحل الله فهو حلال، وما حرّم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئا

“Apa yang Allah halalkan maka ia halal, dan apa yang Allah haramkan maka ia haram, sedangkan apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan, maka terimalah oleh kalian pemaafan dari Allah tersebut, karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu.” (HR. Al-Bazzar, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi, dari Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, dengan sanad Hasan)

Hadis di atas menunjukkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah ta’ala hukumnya, berarti ia dimaafkan dan boleh diambil atau dilakukan.

Contoh Penerapan Kaidah:

1. Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang menyebabkannya masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun tidak membahayakan bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh, bukan hewan buas bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan menakutkan manusia. Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan tersebut secara penampilan ‘tidak enak’ dilihat

2. Tumbuhan yang tidak diketahui namanya, hukumnya juga halal.

3. Semua makanan, minuman, pakaian dan tasharruf (perkataan dan perbuatan), jika tidak ada dalil yang jelas menghalalkan dan mengharamkan, maka hukum asalnya mubah.

4. Hukum asal akad (transaksi) sah hukumnya, kecuali yang ditetapkan batal oleh Allah dan Rasul-Nya.

5. Hukum asal benda cair itu suci.

6. Hukum asal permainan mubah hukumnya menurut Asy-Syafi’i, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

7. Hukum asal dari air adalah suci.

8. Hukum asal dari pakaian itu suci.

Rujukan:

Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2, Hlm. 59-62.

Tinggalkan Balasan

Search