*)Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dalam Islam, sempit dan longgarnya dada bukan bergantung pada banyak sedikit harta, lemahnya fisik, atau ketiadaan kekuasaan tetapi karena masuknya cahaya Islam yang dimasukkan Allah ke dalam dada seorang hamba. Masuknya cahaya Islam ke dalam dada akan menggerakkan hatinya untuk berbuat baik sesuai dengan petunjuk-Nya. Hal ini berbeda dengan orang yang hatinya membatu karena Allah menahan cahaya Islam dan tidak masuk ke dalam dadanya. Alih-alih bercahaya, hatinya justru terututup dan menghalangi dirinya untuk berbuat baik, dan mudah melakukan kemaksiatan.
Sinar Cahaya Islam
Ketika Allah menggerakkan dada dengan cahaya Islam, maka hati hamba itu sangat lunak dan mudah untuk menjalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya. Betapa mudahnya seorang hamba menjalankan perintah dengan mengorbankan dirinya sebagai bentuk masuknya cahaya Allah ke dalam dadanya.
Sahabat nabi merupakan contoh sosok manusia yang terbuka dadanya dengan cahaya Islam. Mereka hidup dalam keterbelakangan dan kejahiliyahan dengan melakukan perlawanan terhadap Islam. Namun mereka tergerak untuk membela Islam dan berkorban untuk kepentingan Islam. Mereka Ikhlas membela nabi dan rela mati dengan berjihad di jalan Allah. Hal ini ditegaskan Al-Quran sebagaimana firman-Nya :
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦ ۚ فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِ ۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ
Artinya:
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhan-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az-Zumar :22)
Namun bagi mereka yang buta hatinya, seperti Abu Jahal atau Abu Lahab, gigih dalam melawan Islam. Allah sudah menutup hatinya dari cahaya Islam. Allah pun memvonis mereka dengan menempuh jalan yang sesat. Tertutupnya hati dari cahaya Islam merupakan jawaban terhadap banyaknya perlawanan terhadap agama Islam, dan itu berakar dari kehendak Allah. merupakan. Tidak berima kepada Allah merupakan bentuk siksaan Allah terhadap seorang hamba. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ ۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجٗا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجۡعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ
Artinya:
Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-‘An`ām : 125)
Ketika seseorang dadanya sesak, maka ketika datang kebenaran, dia lebih baik menolak dan memilih binasa. Itulah sikap yang diambil oleh mereka yang yang di dalam hatniya tidak menerima Islam.
Kegelapan Hati
Al-Qur’an memberi ilustrasi adanya dua hati, yang hidup dan yang mati. Hati yang hidup bisa berjalan dengan tenang, karena dia tahu jalan lulus, belok, berliku, dan tikungan tajam. Sementara hati yang hati tidak tahu jalan yang lurus, atau jurang. Namun dia memandang bahwa jalan gelp itu dipandang sebagai jalan yang benar dan lurus. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
أَوَمَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Artinya:
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-‘An`ām : 122)
Gelapnya hati akan menganggap bahwa apa yang dilakukan pasti terbaik. Dia akan memandang baik perbuatan buruknya, sementara apa yang datang dari Islam sebagai jalan buruk dan harus dimusuhi. Cahaya Islam dipandang sebagai musuh yang harus dilawan meskipun dirinya harus hancur dan binasa.
Oleh karenanya, risiko baru akan dirasakan ketika hidupnya terasa sempit dan sesak saat di dunia. Tak memiliki kepastian jalan hidup dan arah hidup yang jelas. Itu kesulitan hidup ketika di dunia, sebagai hukuman di akhirat, Allah akan membutakan matanya ketika bertemu dengan-Nya. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ
Artinya:
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Ţāhā : 124)
Sebagai ilustrasi, betapa masih banyak dijumpai kebanyakan kaum yang mengaku beragama, namun masih menolak perintah Allah, dan itu lebih besar dosanya daripada ketika berbuat maksiat. Nabi Adam dikeluarkan dari surga karena menolak menjalankan perintah Allah yang melarangnya mendekati pohon. Allah melapangkan dadanya, dan Adam menyadari kesalahannya dan bertobat. Allah pun mengampuninya. Bandingkan dengan Iblis yang menolak perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam. Allah pun menutup hidayah, dan mengusirnya, serta mengancamnya neraka karena tidak keluar penyesalan dari mulut Iblis. (*)
Suabaya, 28 Juli 2025
