Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar menegaskan, ketika membahas syariah dan fikih, harus mampu membedakan antara Islam dalam realitas sosial dan Islam dalam cita ideal. Hal ini disampaikan dalam Pengajian Tarjih, sebagai pengantar konseptual sebelum memahami fikih dalam perspektif Muhammadiyah.
Menurut Syamsul Anwar, Islam dapat dikaji dari dua sisi. Pertama, Islam sebagai realitas konkret, yakni Islam sebagaimana dipraktikkan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realitas ini, praktik keagamaan umat tidak selalu sejalan dengan ajaran Islam yang ideal sebagaimana dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ia mencontohkan kewajiban puasa Ramadan yang secara normatif berlaku bagi setiap Muslim, tetapi dalam kenyataannya tidak semua Muslim menjalankannya, meskipun tetap mengidentifikasi diri sebagai Muslim.
Juga dapat dilihat dalam praktik berpakaian, perilaku sosial, hingga persoalan integritas publik. Ia menyinggung fakta sosiologis di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun masih dihadapkan pada problem serius seperti korupsi. “Fenomena ini menggambarkan Islam dalam realitas sosial yang tidak selalu identik dengan ajaran Islam yang ideal,” ujar Syamsul.
Kedua, adalah Islam dalam cita ideal, yakni Islam sebagaimana seharusnya, yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam dalam pengertian ini mencakup tuntunan normatif tentang apa yang wajib dilakukan dan apa yang harus dihindari, seperti kewajiban puasa Ramadan, amanah dalam menjalankan tanggung jawab, serta larangan korupsi. Islam dalam cita ideal inilah yang disebut sebagai syariah dalam arti luas.
Karena itu, sebelum membahas fikih, pemahaman tentang Islam ideal atau syariah dalam arti luas menjadi landasan penting. Syariah, dalam pengertian ini, merujuk pada keseluruhan ajaran Islam sebagaimana dikehendaki Allah dan disampaikan melalui Rasul-Nya. Ia menegaskan bahwa perbedaan istilah seperti syariah dan syariat tidak perlu dipersoalkan secara berlebihan, karena yang terpenting adalah substansi ajaran Islam itu sendiri.
Ia kemudian mengutip definisi syariah yang dirumuskan oleh ulama abad ke-18, al-Thahawi, dalam karya ensiklopedisnya. Menurut definisi tersebut, syariah adalah norma-norma yang disyariatkan Allah untuk mengatur tingkah laku hamba-Nya dan dibawa oleh para rasul. Norma-norma ini mencakup aturan tentang perilaku manusia yang bersifat konkret, sekaligus menjadi objek kajian ilmu fikih.
Berdasarkan definisi itu, Syamsul Anwar menjelaskan bahwa syariah atau Islam ideal memiliki dua aspek. Pertama, norma-norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti salat, puasa, zakat, muamalat, politik, dan penegakan hukum. Aspek ini disebut syariah dalam arti sempit. Kedua, norma-norma yang mengatur tingkah laku batin, yakni sistem keyakinan yang berada di dalam hati manusia, seperti iman kepada Allah, Rasul, dan hari akhir. Aspek kedua ini disebut akidah.
Syamsul Anwar juga menyinggung pembagian fikih menurut Wahbah az-Zuhaili, yang mengelompokkan syariah dalam arti sempit ke dalam dua ranah besar, yakni ahkam ibadat dan ahkam muamalat. “Menariknya, dalam pandangan sejumlah ulama fikih tersebut, akhlak sering dimasukkan ke dalam fikih, khususnya sebagai bagian dari fikih muamalat dalam arti luas,” tutur Syamsul.
Namun, Syamsul menegaskan bahwa Muhammadiyah mengambil posisi berbeda. Dalam sistematika ajaran Islam versi Muhammadiyah, akhlak dipisahkan dari fikih dan ditempatkan sebagai bidang tersendiri.
Perbedaan ini, menurut Syamsul Anwar, bukan perbedaan substansial dalam ajaran Islam, melainkan perbedaan cara menyusun dan mengklasifikasikan bidang-bidang ajaran agar lebih jelas dan operasional dalam kehidupan umat. (*)
