Di tengah derasnya arus globalisasi dan percepatan teknologi yang tak terelakkan, dunia pendidikan Islam berdiri di persimpangan jalan: mempertahankan nilai-nilai luhur agama atau menyesuaikan diri secara total terhadap modernitas. Tantangan ini seolah menuntut kita untuk berijtihad dalam menemukan formulasi pendidikan yang tidak hanya relevan secara akademis, tetapi juga mampu menjaga identitas keislaman.
Di situlah akan digali pemikiran besar Omar Muhammad al-Toumy Asy-Syaibani dalam karyanya Falsafatu At Tarbiyah Al Islamiyyah:1998, seorang filsuf pendidikan Islam modern, kembali menemukan relevansinya dan patut untuk dijadikan salah satu pijakan dalam melaksanakan kegiatan Pendidikan Islam.
Asy-Syaibani menegaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya bukan sekadar aktivitas transfer ilmu, tetapi proses besar pembentukan manusia secara utuh jiwa, akal, fisik, moral, dan kehendak. Pendidikan, menurutnya, bertugas membimbing manusia agar berhasil menjalankan misi kekhalifahan di bumi sekaligus mencapai kebahagiaan akhirat.
Pandangan ini memberikan pesan yang kuat: pendidikan tidak boleh menjadikan manusia sebagai mesin industri atau sekadar kompetitor dalam ekonomi global, tetapi harus membentuk pribadi berkarakter, beriman, dan berpengetahuan.
Ketika sistem pendidikan modern cenderung mengukur keberhasilan melalui rangking, skor angka, dan standar kompetensi kognitif, Asy-Syaibani mengingatkan bahwa pendidikan Islam wajib mengintegrasikan pengetahuan dan akhlak. Pengetahuan tanpa akhlak bukan kemajuan, melainkan ancaman. Ia mengkritik banyak negeri Muslim yang mengadopsi filsafat pendidikan Barat tanpa melakukan proses penyaringan.
Padahal Islam sendiri merupakan agama yang paling menghargai ilmu dan memiliki perangkat epistemologi lengkap dari pengalaman empiris, akal, hingga wahyu. Bahkan, sejak Al-Qur’an turun, tradisi pendidikan Islam telah mengakar melalui sistem masjid, halaqah, hingga madrasah, jauh sebelum universitas modern lahir.
Pemikirannya juga menempatkan kurikulum sebagai instrumen strategis. Bagi Asy-Syaibani, kurikulum tidak boleh hanya menumpuk mata pelajaran, tetapi harus menjadi rangkaian pengalaman belajar yang mengembangkan seluruh dimensi peserta didik. Kurikulum ideal dalam pendidikan Islam harus seimbang: antara ilmu dunia dan agama, teori dan praktik, rasionalitas dan spiritualitas, individual dan sosial.
Dalam konteks hari ini, pesan ini terasa sangat relevan di saat sebagian lembaga pendidikan hanya menekankan kecerdasan akademik dan mengabaikan pendidikan karakter dan spiritualitas.
Pertanyaan penting pun muncul: apakah gagasan Asy-Syaibani masih relevan untuk zaman kecerdasan buatan dan budaya instan? Jawabannya: justru semakin penting.
Dunia hari ini menyaksikan krisis moral, dehumanisasi pendidikan, dan semakin jauhnya jarak antara ilmu dan nilai. Ketika teknologi tumbuh tanpa etika, ketika sains melaju tanpa spiritualitas, di sanalah pendidikan Islam menawarkan solusi.
Model pendidikan yang memadukan iman, akhlak, ilmu, dan keterampilan adalah kunci untuk mencetak generasi Muslim modern yang mampu menguasai teknologi, mengabdi pada kemanusiaan, dan tetap berakar pada nilai ilahiah.
Pada akhirnya, gagasan besar Asy-Syaibani menyampaikan pesan tegas: pendidikan Islam tidak boleh terjebak nostalgia masa lalu, tetapi juga tidak boleh hanyut dalam arus modernitas yang kehilangan kompas moral.
Pendidikan Islam harus berkembang, berinovasi, dan merespons zaman namun tetap berpijak pada fondasi wahyu. Jika pendidikan berhasil mencetak generasi berakhlak, berpikir kritis, kreatif, dan bertanggung jawab di hadapan Allah, maka di situlah cita-cita pendidikan Islam menemukan kesempurnaannya. (*)
