Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan pemersatu, tetapi juga sangat penting sebagai kerangka berpikir moderasi beragama agar perbedaan tidak berubah menjadi sumber konflik. Hal ini disampaikan Menag Nasaruddin Umar, dalam pidato kebudayaan dalam acara Refleksi 2025 dan Proyeksi 2026, yang digelar di Jakarta.
“Bhinneka Tunggal Ika itu bukan sekadar slogan pemersatu. Ia adalah doktrin kebudayaan yang lahir dari pengalaman panjang bangsa ini hidup dalam perbedaan. Tanpa pemahaman itu, perbedaan mudah sekali berubah menjadi konflik,” ujar Nasaruddin Umar, Senin (22/12/2025).
Menag menjelaskan, bahwa Indonesia sejak awal dibangun dari beragam suku, agama, dan tradisi yang saling bersinggungan. Namun, ketika perbedaan hanya dilihat di permukaannya, ruang dialog menjadi sempit dan kecurigaan mudah tumbuh.
“Kalau perbedaan terus-menerus ditonjolkan tanpa kedalaman pemahaman, kita akan terus berada dalam ketegangan sosial. Ini berbahaya bagi masa depan kebangsaan. Karena itu, kebijaksanaan budaya menjadi sangat penting,” tambahnya.
Menurutnya, moderasi beragama menuntut kemampuan melihat substansi ajaran agama, bukan sekadar simbol dan identitas luar. Ia menilai banyak konflik muncul karena agama dipahami secara parsial dan terlepas dari nilai kemanusiaan.
“Kalau kita mau membuka diri dan menggali lebih dalam, nilai-nilai kemanusiaan dalam agama itu sangat dekat satu sama lain. Di situlah letak moderasi beragama. Moderasi bukan mengurangi iman, tetapi memperdalam pemahaman,” jelasnya.
Menag juga menekankan bahwa Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi cara berpikir kolektif dalam mengelola keberagaman. Tanpa kerangka itu, masyarakat mudah terjebak pada sikap eksklusif dan merasa paling benar.
“Perbedaan adalah keniscayaan sejarah. Tetapi persatuan adalah pilihan sadar yang harus terus diperjuangkan. Di situlah fungsi Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan beragama,” tuturnya.
Menag mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk berani mengambil peran dalam merawat kebudayaan dan moderasi beragama. Masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh keberanian mengambil langkah sejak sekarang.
“Kalau kita menunda terus, kita akan kehilangan arah kebudayaan kita sendiri. Tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan kepada satu generasi saja. Ini kerja bersama yang harus dimulai hari ini,” pungkasnya. (*)
