Bung Tomo, Suparto Brata, dan Sidang Paripurna

*) Oleh : Agus Wahyudi
Jurnalis dan Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim
www.majelistabligh.id -

Surabaya tak hanya menyimpan kisah heroik dari letusan peluru dan pekik kemerdekaan. Surabaya juga melahirkan tokoh-tokoh yang membingkai sejarah lewat kata-kata.

Di antara mereka, nama Suparto Brata dikenal sebagai sosok yang tak hanya mencintai sastra, tetapi juga mengabdikan dirinya untuk mengabadikan denyut sejarah Kota Pahlawan.

Suparto Brata bukan sekadar penulis, melainkan penjaga ingatan kolektif tentang Surabaya, tentang bangsa ini, tentang Peristiwa 10 November yang terlalu sering dirayakan, tetapi jarang direnungi.

Di sisi lain, nama Bung Tomo seolah menjadi jantung dari Peristiwa 10 November 1945. Pekik takbirnya mengguncang dunia. Kata-katanya menyulut keberanian ribuan Arek Suroboyo.

Namun, seiring waktu, gema perjuangan itu mulai meredup dalam ingatan bangsa yang makin gemar pada seremoni ketimbang substansi.

Di sinilah suara Suparto Brata mengalun. Bukan dengan pekik, tetapi lewat pena. Dia menyoroti bagaimana Hari Pahlawan yang monumental justru kehilangan bobotnya sebagai momen reflektif kenegaraan.

Dalam banyak perbincangan dan tulisannya, Suparto mengusulkan sesuatu yang menggetarkan: mengapa tidak ada Sidang Paripurna setiap Hari Pahlawan?

Sebuah momen kenegaraan resmi yang menjadi simbol penghormatan tertinggi bangsa terhadap nilai-nilai perjuangan.

Baginya, peringatan Hari Pahlawan bukan sekadar rutinitas upacara bendera atau teatrikal sesaat.

Momen itu harus menjadi pengingat konstitusional: bahwa darah dan nyawa yang tumpah di Surabaya bukan sekadar sejarah lokal, melainkan pernyataan sikap nasional terhadap penindasan.

Bung Tomo dan Suparto Brata tak pernah berjuang di medan yang sama, tetapi keduanya memperjuangkan hal yang serupa: kemerdekaan dan martabat bangsa.

Bung Tomo dengan orasi dan senjatanya, Suparto Brata dengan tulisan dan kesadarannya.

Kini, saat bangsa ini kerap alpa menghormati sejarahnya sendiri, usulan Sidang Paripurna Hari Pahlawan bukanlah romantisme. Usulan itu adalah panggilan untuk kembali memuliakan perjuangan, melalui cara yang lebih bermakna.

***

Raden Mas Suparto Brata, karib disapa Suparto Brata (kini almarhum), adalah seorang sastrawan dan sejarawan kelahiran Surabaya, 27 Februari 1932.

Sebelum meninggal pada 11 September 2015, namanya masuk dalam daftar 21 tokoh yang dimuat dalam buku Sketsa Tokoh Suroboyo (2016). Selain dia, terdapat nama-nama lain seperti Gombloh, Kartolo, Nyoo Kim Bie, Rusdy Bahalwan, Lim Keng, Nanik Juliati Suryaatmadja, Lilies Handayani, dan masih banyak lagi.

Suparto Brata adalah penulis yang sangat produktif. Karya-karyanya berupa cerpen, novel, dan roman telah banyak dibukukan.

Buku-buku berbahasa Indonesia-nya sebagian besar diterbitkan oleh Gramedia. Sementara itu, buku-buku berbahasa Jawa lebih banyak ia biayai sendiri, alias indie label.

Ada ratusan buku karya Suparto Brata. Buku-buku itu ditulis dalam ukuran tebal: ada yang mencapai 400 halaman, bahkan ada yang lebih dari 600 halaman.

Beberapa di antaranya yang sempat diresensi media dan mendapat apresiasi dari pembaca, antara lain Saksi Mata, Saputangan Gambar Naga, Kerajaan Raminem, Dom Sumurup Ing Banyu, Mencari Sarang Angin, Kremil, Gadis Tangsi, Pawesti Tanpa Identiti, Donyane Wong Culika, Geger Jayacaraka, dan Rupublik Jungkir Balik.

Suparto menyatakan bahwa ia bisa hidup dari menulis. Bahkan, dari aktivitas menulis, nama Suparto Brata tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World, edisi keenam tahun 1998, yang diterbitkan oleh American Biographical Institute, Inc. 5126.

Ia juga meraih tiga penghargaan bergengsi Rancage, yakni pada tahun 2000, 2001, dan 2005. Suparto Brata dianggap berjasa dalam mengembangkan sastra dan bahasa Jawa.

Suparto memiliki jadwal rutin dalam menulis. Dia bangun pukul 03.00 dini hari, lalu langsung menghadap komputer PC-nya.

Pukul 07.00, ia beristirahat. Biasanya waktu istirahat digunakan untuk jalan-jalan pagi dan sarapan.

Satu jam kemudian, dia kembali menulis. Setelah itu, jadwalnya tidak pasti. Kadang, jika tidak ada tamu, ia bisa melanjutkan menulis hingga siang atau sore.

Dalam sehari, Suparto bisa menulis sepuluh lembar di atas kertas folio, spasi tunggal, dengan font huruf ukuran 12.

Ruang kerjanya berupa kamar berukuran 4×3 meter. Di ruang itu terdapat tempat tidur, lemari, rak buku, serta komputer lengkap dengan printer-nya. Banyak deretan dan tumpukan buku karyanya memenuhi ruangan.

Suparto Brata juga dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan sejarah Kota Pahlawan.

Dia telah menulis ratusan artikel, cerpen, dan novel yang berkaitan dengan Surabaya, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Jawa.

***

Suatu ketika, Suparto Brata bercerita tentang Peristiwa 10 November 1945, ketika Bung Tomo tampil sebagai salah satu pejuang yang gigih, dengan pidato-pidatonya yang menggugah semangat perjuangan rakyat.

Peristiwa itu kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan—peristiwa heroik merebut kemerdekaan yang melibatkan Arek-Arek Suroboyo.

Hingga sekarang, peristiwa itu tak pernah terdokumentasikan secara baik. Coba ditelisik, berapa banyak dokumentasi yang merekam peristiwa monumental tersebut? Tidak banyak.

Suparto lalu menyodorkan tiga buku yang ditulis peneliti Belanda, yakni Revolutie in Soerabaja karya W. Mellbuijsen (2000), Macaber Soerabaja 1945 karya Richard L. Kloesaan (2004), dan Bersiap! (Opstand in Het Paradijs) karya Dr. H.T.M. Bussemaker. Buku-buku tersebut telah dicetak dan disebarkan ke penjuru dunia.

Selain tiga buku tersebut, Suparto meyakini masih ada buku-buku lain tentang Peristiwa 10 November di Surabaya yang ditulis oleh para peneliti Belanda. Juga film-film yang dibuat warga Belanda dengan latar Peristiwa 10 November 1945.

Bukan hanya itu. Hari Pahlawan hingga sekarang terasa hanya sebagai seremoni. Tiap tahun, Presiden RI memberikan penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Semua plakat tanda jasa dan gelar pahlawan nasional diberikan oleh Presiden Jokowi kepada para ahli waris.

Semasa hidup, Suparto Brata juga getol menggagas gerakan agar peringatan Hari Pahlawan dipusatkan di Surabaya.

Dia aktif memberikan keterangan kepada media dan menulis di jurnal pribadi yang kemudian diviralkan di media sosial.

Pernyataan dan tulisan Suparto terkait sejarah Surabaya kerap mendapat respons luas dari masyarakat.

Seperti saat perdebatan soal kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby. Suparto mengatakan, hingga detik ini siapa yang menewaskan Mallaby tetap menjadi misteri.

“Tidak ada yang tahu atau saksi mata yang melihat siapa yang membunuh Mallaby.”

Ya, Peristiwa 10 November 1945, agaknya tak pernah menjadi goresan penting dalam sejarah bangsa ini. Di banyak daerah di Indonesia, Hari Pahlawan lebih banyak diperingati dengan upacara bendera.

Di instansi pemerintah, ada kewajiban bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk memakai pakaian adat atau perjuangan, serta memutar lagu-lagu bertema kepahlawanan. Sebagian warga mengekspresikannya dengan teatrikal, pergelaran musik, dan parade juang.

Bagi bangsa yang memiliki sejarah panjang, peringatan Hari Pahlawan sepantasnya memiliki makna kenegaraan yang lebih kuat. Seperti yang diusulkan Suparto Brata: mengapa setiap peringatan Hari Pahlawan tidak digelar Sidang Paripurna?

Adanya Sidang Paripurna Hari Pahlawan tentu akan memberikan kesan mendalam dan kesakralan. Betapa bangsa ini sungguh-sungguh menghargai arti dan perjuangan para pahlawan.

Sidang Paripurna itu diharapkan dapat menjadi cermin, refleksi, dan retropeksi bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat luas tentang semangat dan arti penting kepahlawanan.

Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya bukanlah sebuah “kebetulan”, melainkan pernyataan sikap Arek-Arek Suroboyo yang pantang menyerah dan menolak tunduk terhadap penindasan kolonial.

Hari Pahlawan sepantasnya menyadarkan kita semua bahwa momentum itu bukan sekadar peristiwa kepahlawanan lokal atau nasional. Tetapi telah mendunia dan pantas untuk terus diingat dan diteladani.

Makna pentingnya: jika dahulu perjuangan dilakukan untuk melawan kolonialisme dan merebut kemerdekaan, maka kini perjuangan adalah melawan keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan.

Dan akhirnya, saya ingin mengutip cuplikan pidato Bung Tomo:

“Darah pasti banyak mengalir. Jiwa pasti banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita ini.” (*)

Tinggalkan Balasan

Search