The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada awal November 2025 telah merilis hasil survei kualitas penduduk dari sisi pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Laporan OECD Education at a Glance 2025, menunjukkan Indonesia menempati ranking ke-44 dari 45 negara yang disurvei.
OECD sendiri adalah organisasi internasional yang bergerak dalam upaya membentuk kebijakan yang mendorong kemakmuran, kesetaraan, kesempatan, serta kesejahteraan bagi negara anggotanya. Organisasi ini menjadi wadah bagi pemerintah untuk saling menjalin kerja sama untuk menemukan solusi berbagai permasalahan di negara masing-masing.
Rincian hasil survei ini menunjukkan bahwa Kanada menempati posisi tertinggi negara yang berpendidikan, yakni penduduk yang tidak lulus sampai jenjang SMA sebesar 6,4 persen. Yang lulus SMA/diploma sederajat sebanyak 28,9 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan jenjang perguruan tinggi sebanyak 64,7 persen.
Di posisi nomor dua, menempatkan Irlandia dengan tingkat pendidikan penduduk di bawah SMA 10,7 persen, SMA/Diploma 31,7 persen, dan perguruan tinggi sebanyak 57,5 persen. Menyusul Korea Selatan di posisi ketiga dengan tingkat pendidikan penduduk di bawah SMA 6,5 persen, SMA/Diploma 37,3 persen dan perguruan tinggi 56,2 persen.
Sementara Indonesia menempati posisi ke-44 dengan tingkat pendidikan penduduk di bawah SMA 57,3 persen, SMA/Diploma 29,7 persen, dan perguruan tinggi hanya 13,1 persen. Artinya, hanya sekitar 13 persen penduduk Indonesia yang berusia 25 – 64 tahun yang menamatkan pendidikan tinggi.
Buih di Lautan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) RI, jumlah penduduk Indonesia lebih dari 284,4 juta jiwa. Jumlah ini selalu diglorifikasi menjadi bonus demografi. Artinya dengan jumlah penduduk yang besar, sebagai modal pembangunan menuju Indonesia Emas tahun 2045. Tetapi dengan tingkat pendidikan tinggi yang rendah dan belum ada dorongan pada kualitas pendidikan tinggi, hanya akan menjadi optimisme semu menuju Indonesia berkualitas 20 tahun lagi.
Mari kita renungi salah satu hadis Rasulullah SAW, dimana dalam satu kesempatan Rasulullah SAW bersabda, “Hampir bangsa-bangsa di dunia saling mengajak untuk memerangi kalian, sebagaimana orang-orang yang akan makan saling mengajak menuju piring besar mereka.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah disebabkan dari sedikitnya kita pada hari itu?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan pada hari itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan. Dan Allah akan menghilangkan rasa gentar dari dada musuh terhadap kalian. Dan Allah akan menimpakan wahn (kelemahan) di dalam hati kalian” Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut menghadapi kematian.” (HR. Abu Dawud no. 4297)
Dari hadis ini kita dijelaskan bahwa jangan sampai besarnya penduduk atau umat hanya seperti buih di lautan, dimana saat arus laut menuju ke pantai, buih terlihat sangat banyak. Tetapi dalam sekejap buih itu menghilang terbawa arus ke tengah laut lagi. Buih tidak memiliki kekuatan, hanya gelembung udara kecil-kecil yang hilang begitu saja.
KH Ahmad Dahlan, jauh sebelum Indonesia merdeka, telah mendirikan sekolah yang mengajarkan pendidikan agama dan umum, yang akhirnya berkembang menjadi lembaga pendidikan di bawah Muhammadiyah. Saat ini sudah 163 perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah. Pendidikan menjadi salah satu kunci meningkatkan kualitas SDM suatu bangsa. Jika tingkat pendidikan penduduk suatu bangsa, khususnya pendidikan tinggi masih rendah, maka akan sulit bersaing dalam dunia global.
Jangan sampai rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Indonesia menjadi “santapan” utama bagi bangsa-bangsa lain. Dari segi ekonomi akan menjadi pasar bagi produk-produk luar. Dari segi teknologi hanya sebagai konsumen bagi kemajuan teknologi produk luar. Bonus demografi justru menguntungkan pihak asing, dan cita-cita Indonesia Emas 2045 akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud. Semoga hal ini tidak terjadi. Amin. (*)
