Pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau yang dikenal sebagai BPI Danantara. Lembaga ini berfungsi sebagai sovereign wealth fund (SWF) atau dana investasi negara yang akan mengelola berbagai aset kekayaan negara.
Berdasarkan proyeksi awal, Danantara diperkirakan akan mengelola aset negara dengan total nilai mencapai 900 miliar dolar Amerika Serikat atau lebih dari Rp 14 ribu triliun.
Salah satu sumber utama dari dana yang dikelola Danantara berasal dari dividen perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang nantinya akan digunakan untuk investasi strategis.
Namun, peluncuran badan investasi ini tidak terlepas dari kritik dan kekhawatiran berbagai pihak, termasuk para akademisi dan pakar hukum. Salah satunya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), yang menyoroti aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Dana Investasi Negara ini.
“Keberadaan badan investasi negara seperti Danantara harus dikelola dengan sistem yang jelas, akuntabel, dan transparan untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi,” katanya seperti dilansir di laman resmi UM Surabaya, Rabu (26/2/2025).
Satria menegaskan, tanpa adanya transparansi yang ketat dan mekanisme akuntabilitas yang kuat, keberadaan badan investasi negara seperti Danantara justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Bahkan, menurutnya, alih-alih mendatangkan investasi yang menguntungkan bagi negara, pengelolaan yang tidak transparan bisa berujung pada keburukan serta kerugian finansial yang signifikan.
“Sudah pasti bukan investasi yang kemudian datang atau dihasilkan, tetapi justru adalah keburukan dan kerugian negara,” ujar Satria.
Dekan FH Um Suranaya lantas menyoroti kasus skandal korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia, yang menyeret mantan Perdana Menteri Najib Razak.
Kasus tersebut menjadi contoh nyata bagaimana sebuah lembaga SWF yang dikelola dengan minim transparansi dan akuntabilitas dapat berujung pada skandal korupsi besar-besaran yang merugikan negara.
Lebih lanjut, Satria menilai bahwa BPI Danantara berpotensi mengalami permasalahan serupa, terutama karena kuatnya unsur politisasi dalam proses pembentukannya. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap komposisi jajaran pimpinan Danantara yang dinilai sarat kepentingan politik.
“Apalagi direksi pengawasnya Presiden ke-6 dan Presiden ke-7, lalu Dewan Penasihatnya terdiri dari para menteri terkait. Ini sangat heavy politic, bukan heavy economics,” kata Satria.
Potensi Celah Impunitas dalam Regulasi
Lebih lanjut, Satria mengkritisi adanya celah impunitas dalam pengelolaan Danantara yang diatur dalam Undang-Undang BUMN yang telah direvisi. Dalam dokumen draf revisi UU BUMN, Pasal 3Y menyebutkan bahwa menteri, organ, serta pegawai Danantara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang terjadi, selama mereka dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan akibat kesalahan atau kelalaian mereka.
Organ yang dimaksud dalam pasal tersebut meliputi Dewan Pengawas, yang terdiri dari menteri sebagai ketua merangkap anggota, perwakilan dari Kementerian Keuangan sebagai anggota, serta pejabat negara atau pihak lain yang ditunjuk oleh presiden sebagai anggota. Selain itu, badan pelaksana dari Danantara juga termasuk dalam kategori yang dilindungi dari tuntutan hukum.
Satria menilai, regulasi ini membuka ruang bagi impunitas yang berpotensi disalahgunakan. Kombinasi antara impunitas hukum, monopoli aset, serta lemahnya sistem pengawasan justru menjadi formula yang sempurna bagi terjadinya praktik korupsi.
Dia merujuk pada pandangan pakar antikorupsi internasional, Robert Klitgaard, yang menyebutkan bahwa korupsi berkembang subur dalam situasi di mana terdapat impunitas, monopoli kekuasaan, serta lemahnya sistem akuntabilitas.
“Dan impact-nya ini sekali lagi terhadap ekonomi, yakni krisis ekonomi yang berkepanjangan jika terjadi penyalahgunaan. Tentu ide ini menurut saya lebih banyak sisi buruknya dibanding manfaatnya. Jika pun tetap ingin dijalankan, seharusnya ada pengawasan superbody yang melibatkan KPK hingga Kejaksaan,” pungkas Satria.
Dalam pembentukannya, Danantara disebut-sebut terinspirasi dari Temasek Holdings, sovereign wealth fund milik pemerintah Singapura yang sukses mengelola aset negara dengan baik.
Namun, menurut Satria, ada perbedaan mendasar antara Temasek dan Danantara yang bisa berdampak pada efektivitas serta integritas lembaga tersebut.
Di Singapura, Temasek dikelola secara independen dengan pengawasan ketat serta regulasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas tinggi. Sedangkan dalam kasus Danantara, politisasi dalam penunjukan pimpinan, serta celah impunitas dalam regulasi, justru membuat badan ini lebih mirip dengan 1MDB dibandingkan dengan Temasek.
Menurutnya, jika pemerintah benar-benar ingin membangun SWF yang kredibel dan dapat dipercaya oleh publik serta investor, maka perlu dilakukan revisi terhadap mekanisme pengelolaan Danantara.
Salah satu solusi yang ia tawarkan adalah pembentukan badan pengawas independen yang tidak memiliki afiliasi politik serta memperkuat peran lembaga antikorupsi dalam melakukan audit dan pengawasan terhadap pengelolaan dana investasi ini.
Peluncuran BPI Danantara sebagai badan pengelola investasi kekayaan negara diharapkan mampu menjadi instrumen strategis dalam meningkatkan perekonomian nasional. Namun, kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pakar hukum, tidak bisa diabaikan.
Minimnya transparansi, kuatnya unsur politisasi, serta adanya celah impunitas dalam regulasi membuat lembaga ini berpotensi menimbulkan risiko besar bagi perekonomian negara.
Untuk itu, pemerintah perlu memastikan bahwa Danantara dikelola dengan standar yang tinggi dalam aspek transparansi dan akuntabilitas, serta melibatkan lembaga pengawas independen guna mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi di masa mendatang. (wh)