Dari Arafah untuk Dunia Islam: Pesan Prof. Muhadjir tentang Spiritualitas dan Ekonomi Haji

www.majelistabligh.id -

Matahari mulai meninggi di Padang Arafah, Kamis (5/6/2025) atau bertepatan dengan 9 Zulhijjah 1446 H. Di tengah lautan jemaah yang sedang menjalani wukuf,

Redaktur Pelaksana Majelistabligh.id, Afifun Nidlom, berkesempatan mewawancarai Prof. Dr. Muhadjir Effendy, Penasihat Presiden RI bidang Haji, di Tenda Misi Haji Indonesia.

Saat jutaan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia khusyuk menanti waktu mustajab untuk memanjatkan doa dan menunaikan salat zuhur dan asar secara jamak qashar takdim, Prof. Muhadjir menyampaikan pandangannya tentang penyelenggaraan ibadah haji tahun ini.

“Pelaksanaan ibadah haji sudah sangat baik,” ujar beliau.

Namun lebih dari itu, Muhadjir menekankan pentingnya melihat haji tidak semata-mata sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai momen strategis yang mengandung potensi ekonomi umat Islam yang sangat besar.

“Pengalaman saya bertemu dengan pihak syarikah (perusahaan layanan haji) dan berbagai instansi di Arab Saudi, semua yang dibahas adalah uang,” ungkap Muhadjir sambil tersenyum.

Ia mengungkapkan, perbedaan mencolok terjadi antara pendekatan haji di Indonesia dan di Saudi. Di Indonesia, ibadah haji dimaknai sebagai pelayanan suci yang berpahala dan difasilitasi negara untuk kemaslahatan jemaah. Sebaliknya, di Arab Saudi, penyelenggaraan haji menjadi roda ekonomi besar yang dikelola secara komersial dan efisien.

Mulai dari transportasi, katering, akomodasi, hingga penyembelihan hewan Dam—semua masuk dalam pusaran transaksi bernilai triliunan rupiah.

Salah satu isu utama yang disoroti Muhadjir adalah penyembelihan hewan Dam. Ia mengungkapkan kekhawatirannya saat menyaksikan sendiri proses penyembelihan di kawasan Jabal Kurban.

“Saya lihat sendiri, banyak bagian hewan seperti kepala, jerohan, kaki, dan ekor yang terbuang. Padahal di Indonesia, itu semua bernilai dan bermanfaat,” jelasnya.

Muhadjir menambahkan, pemerintah Arab Saudi berkali-kali meminta kejelasan hukum dari ulama Indonesia terkait boleh tidaknya penyembelihan Dam dilakukan di luar tanah Haram. Hal ini penting untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan efisiensi distribusi, dan memperluas manfaat ekonomi.

Namun, menurutnya, fatwa-fatwa yang dihasilkan di Indonesia cenderung panjang dan bersifat teoritis, tanpa keputusan yang aplikatif dan progresif. Padahal, kebutuhan lapangan sangat mendesak.

Muhadjir pun merujuk pada QS. Al-Baqarah ayat 198 sebagai dalil bahwa Allah telah membolehkan umat Islam mencari karunia atau keuntungan saat melaksanakan ibadah haji.

“Laysa ‘alaykum junahun an tabtaghu fadhlan min rabbikum.”
“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu.”

“Ayat ini berbicara tentang keuntungan ekonomi, dan itu terjadi di pelaksanaan ibadah haji,” ujar Muhadjir tegas.

Bagi Muhadjir, Arafah adalah titik episentrum spiritual sekaligus ekonomi umat Islam global. Dalam satu waktu, jutaan orang dari ratusan negara berkumpul, dan miliaran riyal berputar dalam waktu yang sangat singkat.

Dari tempat yang suci ini, umat Islam seharusnya tak hanya memohon ampunan dan rahmat, tetapi juga mengembangkan kesadaran kolektif untuk membangun peradaban Islam yang mandiri secara ekonomi.

“Ibadahnya sempurna, maslahatnya meluas. Itulah semangat Islam. Dari Arafah, lahir doa dan strategi,” pungkasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Search