Daya Beli Masyarakat Melemah, Akademisi UM Surabaya Beri Analisis dan Solusi

Daya Beli Masyarakat Melemah, Akademisi UM Surabaya Beri Analisis dan Solusi

Memasuki tahun 2025, perekonomian Indonesia menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah melemahnya daya beli masyarakat yang mencerminkan kondisi ekonomi yang kurang stabil.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa deflasi yang terjadi sebagai indikasi keberhasilan dalam menurunkan harga komoditas, para pakar ekonomi menilai bahwa deflasi ini justru lebih banyak dipengaruhi oleh turunnya konsumsi masyarakat, bukan peningkatan daya beli yang sehat.

Dr. Fatkur Huda, pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), menjelaskan bahwa berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut pada awal tahun 2025.

Pada Februari 2025, tingkat deflasi bulanan (month-to-month) tercatat sebesar -0,48%, sementara deflasi tahunan (year-on-year) berada di angka -0,09%. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga paling signifikan meliputi tarif listrik, beras, daging ayam ras, bawang merah, tomat, dan cabai merah.

“Penurunan harga komoditas ini bukan semata-mata karena keberhasilan kebijakan ekonomi, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh menurunnya daya beli masyarakat yang berimbas pada konsumsi,” ungkap Fatkur pada Senin (24/3/2025).

Dia menambahkan bahwa kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena deflasi tahunan ini merupakan yang pertama terjadi dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.

Kondisi ini semakin diperparah dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 pekerja kehilangan mata pencaharian.

Situasi ini semakin memburuk di awal 2025 dengan tambahan 3.325 pekerja yang terdampak PHK pada Januari. Bahkan, PHK massal yang terjadi di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pada 1 Maret 2025 menyebabkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan pekerjaan secara mendadak, memperburuk kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Fatkur, meningkatnya jumlah pengangguran menyebabkan masyarakat menjadi lebih berhati-hati dalam mengelola pengeluaran mereka. Situasi ini memaksa banyak orang untuk memangkas pengeluaran non-esensial dan hanya berfokus pada kebutuhan dasar seperti makanan, tagihan listrik, dan keperluan rumah tangga lainnya.

“Kita tahu bahwa konsumsi rumah tangga memainkan peran kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika konsumsi terus melemah, maka permintaan agregat akan mengalami penurunan, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Fatkur mengutip data dari Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan adanya pergeseran pola belanja masyarakat. Pengeluaran untuk sektor hiburan, olahraga, dan rekreasi mengalami penurunan dari 7,7% menjadi 6,5%, sementara belanja untuk kebutuhan pokok di supermarket meningkat menjadi 15,9%.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memprioritaskan kebutuhan dasar dibandingkan dengan pengeluaran sekunder atau tersier.

Fenomena ini, menurut Fatkur, dikenal sebagai precautionary saving, di mana masyarakat memilih untuk menabung lebih banyak sebagai bentuk antisipasi terhadap ketidakpastian ekonomi di masa mendatang.

Dengan kondisi ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan, banyak orang yang lebih memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya untuk kebutuhan sekunder.

Fatkur menegaskan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Mengingat pentingnya konsumsi dalam menjaga stabilitas ekonomi, beberapa kebijakan konkret perlu segera diterapkan guna mencegah stagnasi ekonomi yang berkepanjangan.

“Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan insentif fiskal bagi dunia usaha untuk mencegah terjadinya PHK lebih lanjut. Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan bantuan sosial bagi kelompok ekonomi rentan yang paling terdampak oleh krisis ini,” papar Fatkur.

Selain itu, kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor ritel dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga harus menjadi prioritas.

Sektor UMKM merupakan salah satu pilar utama dalam perekonomian Indonesia, sehingga memberikan stimulus kepada sektor ini dapat membantu meningkatkan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Fatkur juga mengingatkan bahwa tanpa intervensi yang tepat dan cepat dari pemerintah, risiko stagnasi ekonomi akan semakin besar. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga bisa memperburuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

“Kita harus segera mengambil langkah agar daya beli masyarakat bisa kembali meningkat. Jika tidak, kita berisiko mengalami stagnasi ekonomi yang berkepanjangan dan kesejahteraan rakyat akan semakin menurun,” pungkasnya.

Melemahnya daya beli masyarakat Indonesia di awal tahun 2025 merupakan sinyal serius bagi perekonomian nasional.

Dengan adanya deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir dan meningkatnya angka PHK, konsumsi masyarakat mengalami penurunan drastis.

Fenomena ini mengarah pada pola pengeluaran yang lebih berhati-hati dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah harus segera mengambil kebijakan strategis untuk menjaga daya beli masyarakat.

Pemberian insentif fiskal bagi perusahaan, peningkatan bantuan sosial bagi kelompok rentan, serta penguatan sektor UMKM menjadi langkah-langkah yang dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi kembali ke jalurnya.

Tanpa langkah konkret, risiko stagnasi ekonomi akan semakin besar, dan dampaknya dapat berkepanjangan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. (*/wh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *