Cobalah kita bertanya jujur pada diri sendiri: berapa buku yang sudah kita baca bulan ini? Atau lebih tajam lagi: apakah kita masih merasa perlu membaca buku di tengah banjir informasi media sosial? Pertanyaan ini mungkin terasa menusuk, tetapi justru di sanalah letak masalah besar umat Islam hari ini.
Padahal, tradisi Islam dimulai dengan satu kata yang monumental:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1)
Allah memulai wahyu dengan perintah membaca. Artinya, peradaban Islam dibangun di atas fondasi literasi. Namun, ironisnya, di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia, membaca belum menjadi nafas kehidupan.
Syaikh ʿAlī bin Muḥammad al-ʿImrān dalam kitabnya المُشَوِّق إلى القراءة وطَلَب العِلْم (al-Musyawwiq ilā al-Qirā’ah wa Ṭalab al-‘Ilm) mencoba membangunkan umat dari tidur panjangnya. Kitab ini penuh kisah heroik para ulama yang “gila baca”—bukan gila dalam arti negatif, melainkan gairah yang meluap-luap terhadap ilmu, hingga rela mengorbankan harta, waktu, bahkan kesehatan.
Mengapa Allah Memulai Wahyu dengan “Iqra’”?
Para ulama tafsir memberikan penekanan khusus pada diksi “Bacalah dengan nama Tuhanmu”:
- al-Ṭabarī(w. 310 H) menjelaskan bahwa perintah membaca di awal wahyu adalah penegasan bahwa ilmu adalah jalan pertama menuju iman. Bacaan bukanlah sekadar aktivitas intelektual, melainkan ibadah yang harus dimulai dengan menyebut nama Allah agar terhindar dari kesombongan ilmu.
- Ibn Kathīr (w. 774 H)menafsirkan:
أي مستعينًا بالله، متبركًا بذكره، مستعذًا به من الشيطان الرجيم.
“Yakni, bacalah dengan meminta pertolongan Allah, mencari keberkahan dengan menyebut-Nya, serta berlindung dari setan yang terkutuk.” (Tafsīr Ibn Kathīr, 8/441)
Artinya, ilmu sejati lahir dari bacaan yang disandarkan kepada Allah, bukan sekadar bacaan duniawi yang kering dari nilai iman.
- al-Rāzī(w. 606 H) menambahkan bahwa ayat ini mengisyaratkan keterikatan ilmu dengan tauhid. “Iqra’” tanpa “bi-smi rabbik” akan melahirkan ilmu yang sombong dan menyesatkan. Tetapi ilmu yang dibaca dengan nama Allah akan menjadi cahaya yang membimbing.
Dengan demikian, pilihan kata “Iqra’ bi-smi rabbik” adalah penegasan bahwa tradisi literasi Islam sejak awal diarahkan agar ilmu tunduk pada iman. Inilah yang membedakan peradaban Islam dari sekadar peradaban ilmiah—ia adalah peradaban tauhid.
Keteladanan Ulama: Membaca sebagai Ibadah
Imam Ibn al-Jawzī (w. 597 H) menulis dengan jujur:
“Aku tidak pernah merasa puas dengan membaca. Setiap kali melihat kitab yang belum aku baca, seolah aku menemukan harta karun.” (al-Musyawwiq, hlm. 85)
Imam al-Zuhrī (w. 124 H) bahkan menegaskan:
“Tidak ada sesuatu yang lebih aku cintai setelah ibadah kepada Allah selain menelaah kitab.” (al-Musyawwiq, hlm. 57)
Bagi mereka, membaca adalah bentuk ibadah. Mereka tidak membaca demi kebanggaan dunia, tetapi sebagai jalan mendekat kepada Allah.
Perjuangan Gila: Ilmu Lebih Mahal daripada Harta
Ibn ʿAqīl al-Ḥanbalī rela lapar demi membeli buku. Yaḥyā bin Maʿīn menghabiskan satu juta dirham untuk kitab hadis. Al-Khaṭīb al-Baghdādī berjalan berhari-hari untuk menyalin manuskrip.
Mereka benar-benar “gila” dalam definisi yang luhur. Harta, tenaga, bahkan waktu hanyalah pengorbanan kecil dibandingkan nikmat ilmu.
Cermin Buram Kita: Data Minat Baca Indonesia
Bagaimana dengan kita?
- Perpusnas RI (2024): Indeks TGM naik menjadi 72,44(kategori tinggi).
- BPS (2025): DIY tertinggi (79,99%) disusul Jawa Timur dan Bangka Belitung.
- GoodStats (2025): hanya 20,7 %orang Indonesia yang membaca setiap hari.
Artinya, kita memang mencatat kemajuan, tetapi masih jauh dari semangat “gila baca” para ulama.
Warisan yang Harus Dihidupkan
Kitab al-Musyawwiq adalah cermin historis dan moral. Perintah Allah “Iqra’ bi-smi rabbik” menegaskan bahwa ilmu tanpa iman adalah buta, dan iman tanpa ilmu adalah pincang.
Maka, jika kita ingin kembali bangkit, langkah pertama bukan sekadar slogan kebangkitan Islam. Mulailah dengan membaca—dengan nama Tuhanmu. (–)
Referensi Utama
- al-ʿImrān, ʿAlībin Muḥ al-Musyawwiq ilā al-Qirā’ah wa Ṭalab al-‘Ilm. Riyadh: Dār al-Minhāj, 1414 H.
- al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarī Jāmiʿal-Bayān. Beirut: Dār al-Fikr.
- Ibn Kathīr, Ismāʿīl ibn ʿ Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm. Riyadh: Dār Ṭayyibah.
- al-Rāzī, Fakhr al-Dī Mafātīḥal-Ghayb. Beirut: Dār al-Fikr.
- Perpusnas RI (2024), BPS (2025), GoodStats (2025).
