Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Sebuah momentum bersejarah untuk mengenang perjuangan para pendahulu yang telah mengorbankan jiwa, raga, dan harta demi tegaknya kemerdekaan bangsa.
Namun sayangnya, seiring berjalannya waktu, peringatan ini sering kali hanya menjadi rutinitas tahunan yang bersifat seremonial: upacara, lomba, dan kata-kata heroik yang diucapkan tanpa benar-benar diresapi maknanya. Padahal, semangat kepahlawanan sejatinya tidak berhenti di seremoni, tetapi harus hidup dalam tindakan nyata di setiap lini kehidupan.
Peringatan Hari Pahlawan seharusnya menjadi momentum refleksi nasional, bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menyalakan kembali semangat perjuangan di masa kini.
Percuma kita mengenang jasa para pahlawan jika semangat juang itu tidak kita lanjutkan dalam kehidupan sosial, dalam pekerjaan, dan dalam tanggung jawab kita masing-masing.
Pahlawan bukan hanya mereka yang bertempur di medan perang, tetapi juga mereka yang berjuang melawan ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, dan kezaliman yang menghambat kemajuan bangsa.
Setiap kita bisa menjadi pahlawan di zamannya. Guru yang sabar mendidik anak-anak dengan cinta dan dedikasi adalah pahlawan pendidikan. Petani yang terus menanam demi ketahanan pangan bangsa adalah pahlawan kemakmuran. Relawan yang mengabdikan waktu dan tenaganya untuk membantu sesama adalah pahlawan kemanusiaan. Bahkan, mereka yang bekerja dengan jujur dan ikhlas di bidang apa pun, sejatinya sedang meneladani nilai-nilai kepahlawanan.
Nilai Perjuangan Kian Terkikis
Sayangnya, di tengah kemajuan zaman, nilai-nilai perjuangan sering terkikis oleh egoisme, kepentingan pribadi, dan kerakusan. Tak jarang, kita menyaksikan bagaimana sebagian pejabat dan pemegang amanah publik justru berperilaku sebaliknya: memperkaya diri sendiri, mengkhianati rakyat, serta melupakan semangat pengabdian.
Padahal, alangkah indahnya jika momentum Hari Pahlawan ini dijadikan refleksi oleh para pejabat untuk benar-benar menjaga kemerdekaan bangsa melalui amanah yang diemban. Jangan sampai tangan-tangan rakus dan kebijakan yang sewenang-wenang merusak cita-cita para pahlawan.
Pahlawan sejati tidak selalu lahir dari darah dan pertempuran, tetapi dari hati yang tulus mengabdi untuk kemaslahatan umat. Para pejuang dahulu berkorban tanpa pamrih demi kemerdekaan, dan kini tugas generasi penerus adalah mempertahankan dan memajukan kemerdekaan itu.
Jangan biarkan semangat perjuangan mati oleh keserakahan dan ketidakpedulian. Setiap tindakan jujur, kerja keras, dan pengabdian sosial adalah bentuk nyata menjaga warisan para pahlawan.
Bagi generasi muda, Hari Pahlawan harus menjadi panggilan jiwa untuk terus berkarya dan berkontribusi. Jadikan peran di organisasi, tempat kerja, maupun lingkungan sosial sebagai medan perjuangan baru.
Kita tidak perlu membawa senjata, tetapi cukup membawa integritas, semangat perubahan, dan kepedulian. Itulah wujud nyata menjadi pahlawan di era modern: pahlawan yang berjuang dengan pena, ide, aksi, dan dedikasi.
Sebagai bagian dari Pemuda Muhammadiyah, saya percaya setiap bentuk perjuangan —sekecil apa pun— jika diniatkan untuk kebaikan dan pengabdian kepada Allah, adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Maka, mari kita jadikan momentum Hari Pahlawan ini sebagai refleksi diri dan kebangkitan jiwa pengabdian. Jadilah pahlawan bagi keluarga, masyarakat, organisasi, dan bangsa.
Indonesia hari ini tidak hanya membutuhkan kenangan tentang pahlawan, tetapi lahirnya pahlawan-pahlawan baru. Mereka yang berjuang dengan hati, bekerja dengan integritas, dan mengabdi dengan cinta untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
