Banyak orang beranggapan bahwa kekayaan adalah jaminan kebahagiaan. Mereka berpikir bahwa memiliki harta melimpah, rumah mewah, kendaraan mahal, dan segala fasilitas duniawi otomatis membuat seseorang hidup bahagia. Namun, benarkah demikian?
Mari kita lihat realitas di sekitar kita. Tidak sedikit orang kaya yang justru hidup dalam tekanan, kegelisahan, bahkan kesengsaraan. Ada yang harus mendekam di penjara karena korupsi dan kejahatan finansial lainnya. Ada yang terlibat konflik keluarga karena perebutan harta. Ada pula yang meski memiliki segalanya, tetap merasa hampa dan tidak menemukan ketenangan dalam hidupnya. Apakah mereka bisa dikatakan bahagia?
Tidak semua orang kaya bahagia. Harta yang melimpah tidak menjamin ketenangan batin, apalagi jika seseorang tidak memiliki iman yang kokoh. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.”(QS. Thaha: 124)
Kehidupan yang sempit di sini bukan berarti kekurangan materi, melainkan kesempitan hati dan kegelisahan jiwa. Sebesar apa pun kekayaan seseorang, jika hatinya kosong dari keimanan dan jauh dari Allah, maka ia tetap akan merasa resah dan tidak bahagia.
Kebahagiaan sejati datang ketika seseorang mampu bersyukur atas segala yang dimilikinya. Orang yang bersyukur akan selalu merasa cukup, karena ia yakin bahwa semua yang ada padanya adalah pemberian terbaik dari Allah.
Allah SWT berfirman: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang tidak bersyukur (kufur atau ingkar nikmat), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.”(QS. Luqman: 12)
Allah SWT juga menjanjikan balasan bagi mereka yang senantiasa bersyukur: “Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(QS. Ali Imran: 145)
Kebahagiaan Datang dari Keikhlasan dalam Berbagi
Salah satu sumber kebahagiaan terbesar adalah berbagi dengan sesama. Saat kita memberi, kita tidak hanya menolong orang lain, tetapi juga menanamkan kebahagiaan dalam hati kita sendiri.
Allah SWT berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.'”(QS. Al-Insan: 8-9)
Ketika kita berbagi dan melihat orang lain tersenyum karena pertolongan kita, di situlah kebahagiaan sejati dirasakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, karena memberi lebih membahagiakan daripada menerima.
Seseorang akan merasa bahagia jika ia mampu bertawakal dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tawakal membuat seseorang tidak mudah goyah oleh cobaan dan kesulitan hidup, karena ia yakin bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong.
Allah SWT berfirman: “Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”(QS. Ali Imran: 160)
Orang yang qana’ah adalah mereka yang mampu merasa cukup dengan apa yang telah diberikan Allah. Ia tidak selalu merasa kurang atau iri terhadap rezeki orang lain, karena ia yakin bahwa setiap orang telah mendapat porsi terbaik sesuai dengan ketentuan Allah.
Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.”(QS. An-Nisaa’: 32)
Sikap qana’ah menjauhkan seseorang dari ambisi duniawi yang berlebihan, sehingga ia bisa hidup lebih tenang dan bahagia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang bangun di pagi hari dengan perasaan aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya.”(HR. Tirmidzi)
Kebahagiaan sejati hanya bisa diraih oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menerima segala takdir dengan lapang dada. Keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah ketentuan Allah akan membuat seseorang lebih tenang dalam menjalani hidup.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah jadikan dia memahami agama.”(HR. Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, hendaklah kita selalu memperkuat iman, menerima takdir Allah dengan sabar, dan menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur. Dengan demikian, kita akan merasakan kebahagiaan yang hakiki, bukan sekadar kebahagiaan semu yang bergantung pada harta dan kedudukan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bersyukur dan mendapat kebahagiaan sejati dalam rida Allah. Kebenaran datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan segala kesalahan adalah dari diri kita sendiri. Jika ada kekhilafan dalam tulisan ini, mohon dimaafkan.
Barakallahu fikum. (*)