Al-Qur’an mengabadikan sosok pemuda, Ibrahim, yang tampil dengan gagah berani dalam menegakkan peradaban berbasis nilai profetik. Kontribusinya sangat besar di tengah terpaan, godaan serta tekanan sosial dan ancaman kematian. Bukannya mundur ketika mendapat perlawanan, Ibrahim justru tampil dengan menawarkan argumen yang rasional dan meyakinkan. Pada akhirnya, Ibrahim bisa mengukir sejarah dan namanya diabadikan dalam Al-Qur’an. Kokohnya tauhid yang bersemayam di dadanya, sehingga Allah pun menolongnya dari berbagai desakan untuk melepaskan agamanya.
Pemuda Pemberani
Ibrahim layak disebut sebagai pemuda yang memiliki keberanian luar biasa. Keberanian menjelaskan keyakinan yang benar ditunjukkan ketika dia mendapatkan keyakinannya yang benar. Dia berani menyampaikan kepada orang terdekatnya, yakni ayahnya. Meskipun ayahnya mereproduksi berhala yang akan disembah kaumnya, namun sosok pemuda ini memberanikan diri menyampaikan kebenaran. Dia menyampaikan kebenaran kepada orang yang pernah berjasa padanya.
Sebagai pemuda, Ibrahim tahu risikonya. Dia begitu berani menyampaikannya. Baginya, menyampaikan dakwah jauh lebih kuat, sehingga Ibrahim menyampaikannya dengan sadar dan tegar. Ibrahim pun mempertanyakan manfaat berhala yang disembah. Dalam pandangannya, berhala tak memiliki peran apa-apa dalam kehidupan ini. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً ۖ إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, ‘Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-An‘ām : 74)
Nabi Ibrahim tidak berhenti berdakwah hanya kepada ayahnya, tetapi justru melangkah lebih progresif dengan menyampaikan dakwah tauhid kepada kaumnya. Keberaniannya dalam berdakwah hingga nekat menghancurkan patung-patung yang disembah secara berkeping-keping. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم بَعْدَ أَن تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Artinya :
“Demi Allah, sungguh aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya.” Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping, kecuali yang terbesar, agar mereka kembali kepadanya. (QS. Al-Anbiyā’ : 57–58)
Pemuda pemberani ini sengaja menghancurkan patung-patung untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka sembah tidak memiliki arti apa-apa. Benar juga, penduduk itu pun mengetahui bahwa pelaku yang menghancurkan berhala itu tidak lain dan tidak bukan dilakukan oleh satu-satunya pemuda yang bernama Ibrahim. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
قَالُوْا سَمِعْنَا فَتًى يَّذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهٗٓ اِبْرٰهِيْمُۗ ٦٠
“Mereka (para penyembah berhala yang lain) berkata, “Kami mendengar seorang pemuda yang mencela mereka (berhala-berhala). Dia dipanggil dengan nama Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya : 60)
Tindakan Ibrahim menghancurkan patung-patung itu benar-benar momen yang tepat untuk menimbulkan amarah, sehingga pada akhirnya memanggilnya. Ibrahim dipanggil untuk mengkonfirmasi perbuatannya yang menghancurkan sesembahan mereka. Ibrahim sadar betul bahwa berhala menyesatkan jalan menuju Tuhan.
Pemuda Berakhlaq
Sebagai sosok pemuda, pada umumnya kurang beretika. Tindakan menghancurkan berhala jelas dipandang tak menghargai keyakinan orang. Namun Ibrahim masih memiliki etika yang bagus ketika berdakwah pada ayahnya. Ibrahim membenci berhala namun tidak membenci ayahnya, meskipun terancam dirajam, hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا
Dia (bapaknya) berkata, “Apakah kamu membenci tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika tidak berhenti (mencela tuhan yang kusembah), engkau pasti akan kurajam. Tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (QS. Maryam : 46)
Peringatan Ibrahim yang disampaikan dengan lembut, santun, dan berkali-kali tetap tidak mampu menyadarkan ayahnya. Karena keyakinan salah itu sudah mendarah daging, bahkan kebencian ayahnya ditunjukkan dengan perkataan berikut, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim, sehingga engkau terus mengajakku meninggalkan sesembahan itu dan memintaku beribadah hanya kepada Tuhan Yang Esa? Jika engkau tidak berhenti dari permintaanmu dan tetap mencela tuhanku, pasti engkau akan kurajam, kulempari dirimu dengan batu sampai mati. Bila engkau tidak ingin hal ini terjadi, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama agar amarahku reda dan engkau tidak lagi mencela sesembahanku.”
Mendapat tekanan dan ancaman itu, akhlaq Ibrahim muncul. Dia mendoakan kebaikan kepada orang tuanya. Etika sebagai seorang anak ketika mendapatkan ancaman, bukannya kembali mengancam, tetapi justru berdoa tulus Ikhlas. Hal ini diabadikan A-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا
Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku. (QS. Maryam : 47)
Mendapat ancaman itu, Ibrahim sadar ayahnya sudah tidak dapat diperingatkan. Dengan tetap santun, dia berkata, “Selamat berpisah, ayah tercinta. Semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepadamu”.
Doa yang tulus Ikhlas ditunjukkan Ibrahim sebagai pemuda. Ini layak menjadi contoh dan teladan mulia di tengah gelombang hilangnya etika di kalangan pemuda sekarang ini. Belum lagi lingkungan yang menggerus dan menghancurkan karakter pemuda dengan budaya hedonis-pragmatis. Ini jelas merusak karakter pemuda yang seharusnya bersih dan jernih dalam mengambil sikap.
Banyak saat ini sosok pemuda tapi pikirannya usang. Mereka pragmatis hingga menghalalkan segala cara untuk menikmati hidup tanpa membedakan halal-haram, boleh tidak boleh, hingga membuat anak muda tergerus dan hilang etika dan moral mereka.
