Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, mengatakan bahwa isu GEDSI (Gender, Difabel, dan Inklusi Sosial), bukan hal baru di Muhammadiyah. Sebab sejak awal Muhammadiyah memiliki paradigma untuk memuliakan perempuan. Namun demikian isu ini harus terus direproduksi, sehingga tidak boleh ada lagi kelompok yang termarjinalkan.
“Karena bukan sesuatu yang baru, maka ini dikuatkan kembali. Diformulasikan dengan tulisan-tulisan yang kemudian mudah dibaca,” kata Tri Hastuti, dalam bedah buku “Menafsir Ulang Problem Gender, Difabel, dan Inklusi Sosial dalam Perspektif Islam Berkemajuan” di Grha Suara Muhammadiyah, Jumat (26/12/2025).
Tri Hastuti mengapresiasi acara yang digelar atas kerjasama Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah melalui program inklusi dengan Suara Muhammadiyah (SM) itu. Ia menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang berkontribusi pada terbitnya buku ini. Menurut Tri, buku ini bisa dijadikan pegangan mubalig Persyarikatan.
Menurutnya, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah memiliki kepentingan mendesak untuk mempromosikan gerakan no one left behind atau tidak boleh meminggirkan/meninggalkan kelompok tertentu hanya karena berbeda. Maka para mubalig Persyarikatan diminta untuk mendalami isu GEDSI.
Pendalaman isu GEDSI diharapkan bisa membuka ruang-ruang publik, lebih-lebih di Persyarikatan Muhammadiyah, agar semakin inklusif. Serta materi-materi dakwah yang lebih segar namun diterima, dengan tidak menghakimi atau menjatuhkan pihak lain.
Sementara itu, Direktur Percetakan dan Penerbitan SM, Isngadi Marwah Atmaja menyampaikan, isu keperempuanan telah lama menjadi diskursus di Muhammadiyah. Bahkan sejak jauh hari, ‘Aisyiyah Ponorogo mengusulkan ke PP Muhammadiyah untuk mengakomodasi ulama perempuan dalam perumusan fikih.
Maka saat ini menurutnya sudah waktunya ‘Aisyiyah ambil bagian menjadi penentu arah umat dan bangsa. Terlebih perkembangan ‘Aisyiyah di banyak tempat sangat menggembirakan. Salah satunya di Kabupaten Kudus, ‘Aisyiyah telah memiliki dua rumah sakit.
Selain dari sisi Amal Usaha, ‘Aisyiyah pada masa sekarang gerakannya juga masif. Bahkan gairah yang dimiliki lebih besar untuk memberikan manfaat bagi umat dan bangsa. “Terlebih perkembangan di ranting-ranting, semangat ‘Aisyiyah luar biasa. Rapatnya bisa seminggu sekali,” tutur Isngadi.
Di ‘Aisyiyah, isu gender telah menjadi keseharian para kader. Namun pada isu difabel dan inklusi sosial masih perlu untuk dipromosikan lebih masif. Sebab ketiga isu ini saling berkaitan, supaya tidak boleh lagi ada kelompok yang ditinggalkan. (*)
