Jalan Panjang Menjadi Petani Berharta

*) Oleh : Chusnun Hadi
Editor majelistabligh.id
www.majelistabligh.id -

Pada 20 Mei 1998, penulis mendampingi salah satu legenda wartawan Jawa Timur, H. Agil H Ali (alm) menjadi pembicara tentang gerakan reformasi di salah satu kampus di Jember, Jawa Timur. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya sekitar habis dhuhur, kami tertarik melihat puluhan petani sedang memanen padi yang telah menguning pada hamparan sawah yang luas.

Wajah mereka penuh kebahagiaan, senyum, dan sesekali saling bercanda. Mereka terlihat tenang. Padahal waktu itu hampir di pusat-pusat kota di Indonesia, di Jakarta, di Gedung DPR RI, sedang bergemuruh ribuan, bahkan puluhan ribu mahasiswa dan masyarakat yang lain sedang meneriakkan reformasi dan melakukan aksi menuntut dan melengserkan Presiden Soeharto.

Ya, 20 Mei 1998 adalah sehari sebelum Soeharto lengser. Para petani yang kami perhatikan saat itu, seakan tidak tahu dengan kabar berita yang sangat penting bagi keberlangsungan politik negeri ini. Ada belasan mahasiswa tewas dalam peristiwa Semanggi, ada pembakaran berbagai gedung dan rumah-rumah penduduk, beberapa menteri kabinet saat ini mengundurkan diri. Juga bagaimana polisi dan tentara terus mengamankan situasi yang semakin chaos.

Petani memang selalu di posisikan sebagai masyarakat kecil, wong cilik, dan kaum miskin. Petani memiliki sikap nerimo ing pandum, tanpa ambisi yang berlebihan. Saat bibit padi sulit didapat pada musim tanam, petani ya nerimo. Demikian juga saat masa pertumbuhan padi, pupuk menjadi langkah, juga bisa nerimo. Bahkan saat mulai siap panen tiba-tiba diterjang banjir yang menghanyutkan tanaman mereka, petani pun tetap nerimo.

Kapan Petani Bisa Berharta

Indonesia sebagai negara agraris seharusnya menempatkan petani pada posisi terhormat dalam sistem perekonomian nasional. Kesejahteraan petani selayaknya menjadi prioritas karena didukung oleh lahan pertanian yang luas, komoditas pertanian yang beragam, serta iklim yang sangat mendukung. Tetapi kenyataannya, mayoritas petani di Indonesia masih berada pada garis kemiskinan, bahkan di bawah garis kemiskinan. Jalan panjang petani untuk menjadi sejahtera, seakan tak berujung.

Dalam publikasi Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) tahun 2024 menunjukkan hanya 0,07 persen petani di Indonesia yang masuk kategori kaya atau berharta. Sedangkan sekira 34,4 persen berada pada kelas miskin dan rentan miskin. Sisanya adalah petani kelas menengah dan calon kelas menengah.

Itu artinya, hanya sebagian yang sangat kecil petani kaya di Indonesia. Itupun bukan berarti mereka turun di sawah, tetapi didominasi para pemilik lahan, serta pengelola hasil pertanian. Sementara mereka yang benar-benar petani, turun ke sawah, tidak semuanya sebagai pemilik lahan. Sebab banyak di antara mereka sebagai buruh tani atau sewa lahan.

Karena itu, pemerintah harus selalu berpihak pada petani, karena mayoritas bangsa ini bekerja di sektor pertanian. Pemerintah harus berupaya mengembangkan sektor pertanian bukan hanya pada upaya peningkatan produksi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani. Reformasi kebijakan pertanian, penguatan kelembagaan petani, perluasan akses pasar, hingga integrasi dengan sektor agroindustri menjadi kunci memastikan petani Indonesia bisa hidup sejahtera.

Dalam Al Quran Surah Yasin ayat 33-35, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan. Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?”

Pertanian mengajarkan nilai kerja keras dan bersyukur. Petani bekerja tanpa henti dan bersyukur atas hasil yang mereka peroleh, merupakan nilai penting dalam pertanian berkelanjutan. Petani adalah kumpulan orang-orang yang tidak banyak mengerti politik, tetapi mereka menjadi objek dari kebijakan politik. Karena itu, jangan sampai keikhlasan petani dimainkan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search