Jupriyanto: Dari Satpam ke Akademi Muballigh Muhammadiyah

www.majelistabligh.id -

Lahir dan tumbuh dalam keluarga sederhana, Jupriyanto adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, hanya dirinya yang berhasil menamatkan pendidikan hingga Sekolah Menengah Umum (SMU) pada tahun 1994. Namun keterbatasan ekonomi tidak memadamkan semangatnya untuk terus belajar dan mengabdi.

Usai lulus, Jupriyanto aktif mengikuti pengajian di lingkungan Muhammadiyah. Di kampung halamannya, jemaah pengajian Muhammadiyah sangat terbatas, bahkan santri ngaji ustaznya hanya berjumlah empat orang. Meski demikian, semangatnya tidak surut. Selama hampir tiga tahun, ia dipercaya menjadi pembawa acara setiap peringatan Maulid Nabi di langgar kampungnya.

Pada 1997, Jupriyanto mendapat panggilan kerja di Surabaya, tepatnya di kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Hampir lima tahun ia bekerja di sana. Pada 2004, ia menikah dan sempat kembali ke kampung halaman di Situbondo. Namun karena istrinya tidak betah, keduanya kembali ke Sidoarjo.

Selepas itu, Jupriyanto memutuskan keluar dari pabrik. Tak lama kemudian, ia diterima bekerja sebagai satpam di Perumahan Tenggilis Mejoyo Selatan, Surabaya. Di kawasan tersebut terdapat Masjid Muhammadiyah dengan pengajian rutin setiap Selasa malam. Jupriyanto kembali aktif mengikuti pengajian. Dari sinilah cara berpikirnya semakin terbuka.

Melihat kesungguhannya, pengurus masjid menghadiahkan sebuah buku berjudul Tanya Jawab Agama. Buku itu menjadi titik penting dalam perjalanan intelektual dan spiritualnya. Ia semakin bersyukur dipertemukan dengan Muhammadiyah. Dalam hatinya, Jupriyanto meneguhkan tekad, bahwa sepanjang hayatnya akan tetap setia ber-Muhammadiyah dan berpegang pada prinsip sami‘na wa atha‘na.

Kisah menjadi Kader Muhammadiyah Tulungagung

Ketika sang istri memutuskan kembali ke tanah kelahirannya di Tulungagung, Jupriyanto turut serta. Ia menetap di Desa Tanjungsari, Kecamatan Karangrejo. Di sana, setiap bulan Ramadan ia dipercaya menjadi imam salat Maghrib dan Tarawih di mushala Al-Muslimun, wakaf mertuanya di Dusun Ndosolor Tanjungsari.

Di saat menjadi imam salat di masjid Al-Huda (masjid milik Muhammadiyah), Jupriyanto kemudian berkenalan dengan Dwi Susanto, Ketua PRM Karangrejo, serta Nuraeni, Sekretaris PCM Tulungagung, hubungan yang terus terjalin hingga kini.

Keaktifannya dalam persyarikatan membawanya terlibat dalam kegiatan Akademi Muballigh Muhammadiyah (AMM) Zona Jayabaya, yang meliputi wilayah Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Ia diutus sebagai peserta AMM ke-3 yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh PWM Jawa Timur Jum’at s.d Ahad (12 s.d 14 Desember 2026).

Bagi Jupriyanto, AMM bukan sekadar pelatihan, melainkan anugerah besar. Ilmu yang diperoleh semakin memperkaya wawasan dakwahnya, terlebih materi disampaikan oleh para pemateri yang kompeten di bidangnya. Bekal tersebut akan ia gunakan untuk pembinaan diri dan masyarakat di sekitarnya.

“Semoga ilmu yang saya dapatkan menjadikan saya lebih percaya diri, lebih fokus dalam beribadah, serta menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana ibadah,” tuturnya penuh harap.

Ia menutup kisah hidupnya dengan satu pesan yang terus dipegang teguh: “Hidup-hiduplah Muhammadiyah.” (*)

Tinggalkan Balasan

Search