Kebenaran bukan hasil dari keberuntungan atau kebetulan, melainkan buah dari niat, pencarian, dan kesungguhan. Kebenaran adalah hasil ikhtiar. Ia ditemukan oleh mereka yang mencarinya dengan jujur, bukan yang menunggu ia datang. Ada proses, bukan instan. Kebenaran lahir dari proses panjang—belajar, mengamati, menguji, dan merenung.
Butuh keberanian dan kejujuran. Untuk menerima kebenaran, seseorang harus siap melepaskan ego dan prasangka.
1. Kebenaran sebagai Cahaya yang Dicari, Bukan Ditemukan Secara Acak
Kebenaran dalam banyak tradisi spiritual—termasuk dalam Islam—disebut sebagai “nur” (cahaya). Dan cahaya tidak muncul begitu saja di ruang gelap; ia harus dinyalakan, dicari, dan dijaga.
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Angkabut: 69)
Makna, kebenaran adalah hasil dari kesungguhan (mujahadah), bukan hasil dari keberuntungan atau kebetulan.
2. Kebenaran Butuh Kompas: Akal, Wahyu, dan Fitrah
Kebenaran bukan sekadar “apa yang terasa benar”, tapi apa yang selaras antara akal sehat, wahyu, dan fitrah. Tanpa kompas ini, manusia mudah tersesat dalam opini, bias, atau ilusi.
• Akal: Menimbang dengan logika dan konsistensi.
• Wahyu: Menyambungkan dengan petunjuk ilahi.
• Fitrah: Merasakan resonansi batin yang murni.
Tanpa ketiganya, kita hanya akan “menebak-nebak” kebenaran, bukan menapakinya.
Berikut ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa kebenaran membutuhkan “kompas” berupa akal, wahyu, dan fitrah sebagai petunjuk ilahi. Ketiganya saling melengkapi dalam menuntun manusia menuju kebenaran.
A. Akal: Alat untuk Merenung dan Memilah
Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya menggunakan akal untuk memahami kebenaran, (QS. Ar-Rum: 28).
ضَرَبَ لَكُمْ مَّثَلًا مِّنْ اَنْفُسِكُمْۗ هَلْ لَّكُمْ مِّنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ شُرَكَاۤءَ فِيْ مَا رَزَقْنٰكُمْ فَاَنْتُمْ فِيْهِ سَوَاۤءٌ تَخَافُوْنَهُمْ كَخِيْفَتِكُمْ اَنْفُسَكُمْۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
“Dia membuat perumpamaan bagimu dari dirimu sendiri. Apakah (kamu rela jika) ada di antara hamba sahaya yang kamu miliki menjadi sekutu bagimu dalam (kepemilikan) rezeki yang telah Kami anugerahkan kepadamu, sehingga kamu menjadi setara dengan mereka dalam hal ini?. Kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada sesamamu. Seperti itulah Kami menjelaskan tanda-tanda itu bagi kaum yang mengerti.”
Perumpamaan tersebut menggambarkan bahwa tidak pantas ada persekutuan dari unsur-unsur yang tidak setara, misalnya antara hamba sahaya dan pemiliknya, apalagi antara makhluk dengan Allah Swt. Hal itu tentu lebih tidak pantas lagi. Kamu merasa takut karena tidak bisa menggunakan apa yang kamu miliki tanpa seizin hamba-hamba sahaya itu.
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗ ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).” (QS. Az-Zumar: 18)
Mereka mendengarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan ajaran yang lain, lalu mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an karena meyakininya sebagai yang terbaik.
Akal adalah lensa untuk menangkap cahaya kebenaran, tapi ia butuh sumber cahaya agar tidak tersesat.
B. Wahyu: Cahaya yang Menuntun Akal
Wahyu adalah petunjuk langsung dari Allah yang menjadi cahaya bagi akal dan hati. (QS. Al-Ma’idah: 15–16)
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ قَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيْرًا مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُوْنَ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍەۗ قَدْ جَاۤءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌۙ يَّهْدِيْ بِهِ اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ بِاِذْنِهٖ وَيَهْدِيْهِمْ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
“Wahai Ahlulkitab, sungguh rasul Kami telah datang kepadamu untuk menjelaskan banyak hal dari (isi) kitab suci yang kamu sembunyikan dan membiarkan (tidak menjelaskan) banyak hal (pula). Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab suci yang jelas. Cahaya dari Allah Swt. maksudnya adalah Nabi Muhammad saw., sedangkan kitab suci maksudnya adalah Al-Qur’an. Dengannya (kitab suci) Allah menunjukkan kepada orang yang mengikuti rida-Nya jalan-jalan keselamatan, mengeluarkannya dari berbagai kegelapan menuju cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan kepadanya (satu) jalan yang lurus.”
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِۗ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ ࣖ
“(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghadirkan seorang saksi (rasul) kepada setiap umat dari (kalangan) mereka sendiri dan Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.” (QS. An-Nahl: 89).
Wahyu adalah kompas ilahi yang mengarahkan akal agar tidak tersesat oleh hawa nafsu atau logika semu.
C. Fitrah: Bekal Bawaan Menuju Kebenaran
Fitrah adalah potensi bawaan manusia untuk mengenal kebenaran dan tunduk kepada Allah:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30).
Maksud fitrah Allah pada ayat ini adalah ciptaan Allah Swt. Manusia diciptakan Allah Swt. dengan naluri beragama, yaitu agama tauhid. Jadi, manusia yang berpaling dari agama tauhid telah menyimpang dari fitrahnya.
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,” (QS. Al-A’raf: 172).
Fitrah adalah benih kebenaran dalam diri manusia. Jika disiram dengan wahyu dan diterangi oleh akal, ia akan tumbuh menjadi keyakinan yang kokoh.
Kesimpulan: Tiga Kompas Menuju Kebenaran
3. Kebenaran Butuh Proses, Bukan Instan
Kebenaran bukanlah sesuatu yang “jatuh dari langit” tanpa usaha. Ia lahir dari tafakkur; perenungan mendalam, tadabbur; pembacaan makna di balik teks dan realitas, tazkiyah; pembersihan hati dari hawa nafsu dan ego.
Seperti benih yang tumbuh menjadi pohon. Kebenaran butuh tanah yang subur, air yang cukup, dan waktu yang sabar.
4. Dalam Pendidikan dan Kepemimpinan
Kalimat ini sangat relevan dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan. Guru dan orang tua tidak bisa berharap anak “tahu yang benar” tanpa proses pembiasaan, dialog, dan keteladanan. Dan, pemimpin tidak bisa mengklaim kebenaran tanpa transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan terhadap kritik.
Kebenaran harus diperjuangkan, dibuktikan, dan dikomunikasikan dengan jujur.
