Kekuatan dan Keilmuan: Fondasi Kepemimpinan Politik Islam

*) Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jatim
www.majelistabligh.id -

Berjuang menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara selalu memerlukan sosok pemimpin yang berdiri tegak di dua pilar. Pertama, kekuatan fisik yang memungkinkan dia bekerja tanpa henti untuk kepentingan rakyat. Kedua, keluasan ilmu yang menjadikannya bertindak dengan kebijaksanaan serta orientasi akhirat. Keduanya saling menguatkan.

Kekuasaan yang tidak ditopang ilmu akan mudah tergelincir pada penyalahgunaan. Ilmu yang tidak ditopang ketangguhan fisik akan rapuh dalam menghadapi beban tugas negara. Dalam Al-Qur’an, figur Thalut layak ditampilkan sebagai pemimpin yang dipilih Allah karena “kelebihan fisik dan ilmu.”

Kekuatan Fisik

Dalam perjuangan politik yang bertujuan menegakkan keadilan dan nilai-nilai Islam, seorang pemimpin bukan hanya figur simbolik. Ia adalah pekerja publik yang memikul beban administratif, sosial, dan moral yang sangat berat. Karena itu, ketangguhan fisik menjadi syarat yang tidak boleh diremehkan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Thalut dipilih menjadi raja bukan karena keturunan bangsawan atau kekayaan, tetapi karena keluasan dan ketangguhan fisik. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَقَا لَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اللّٰهَ قَدْ بَعَثَ لَـکُمْ طَا لُوْتَ مَلِكًا ۗ قَا لُوْۤا اَنّٰى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ اَحَقُّ بِا لْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَا لِ ۗ قَا لَ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰٮهُ عَلَيْکُمْ وَزَا دَهٗ بَسْطَةً فِى الْعِلْمِ وَ الْجِسْمِ ۗ وَا للّٰهُ يُؤْتِيْ مُلْکَهٗ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَا للّٰهُ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ

“Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu darinya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 247)

Ketangguhan tersebut bukan sekadar soal kekuatan tubuh, tetapi juga ketahanan menghadapi tekanan, kemampuan bekerja di situasi krisis, dan kesiapsiagaan dalam menjalankan tugas negara kapan pun dibutuhkan.

Pemimpin yang rentan sakit-sakitan, mudah lelah, atau tidak mampu bergerak cepat dalam keadaan darurat akan menghadirkan risiko besar bagi stabilitas negara. Dalam politik modern, krisis datang tanpa tanda-tanda seperti bencana alam, konflik sosial, ancaman keamanan, hingga instabilitas ekonomi.

Pemimpin yang tidak memiliki fisik yang prima akan tertinggal oleh peristiwa. Sebaliknya, ketangguhan fisik membuat pemimpin hadir tepat waktu di tengah rakyat, mampu mengambil keputusan strategis, turun ke lapangan, dan memberi arah di saat genting. Politik dalam perspektif Islam bukan kursi kehormatan. Dia adalah arena kerja keras. Karena itu, kekuatan fisik menjadi pilar untuk memastikan pemimpin mampu mengeksekusi tugas-tugasnya tanpa menunda dan tanpa kendala tubuh.

Kisah Thalut ketika memimpin pasukannya menyeberangi sungai adalah bukti lain bahwa ketangguhan fisik pemimpin memberi dampak psikologis bagi rakyatnya. Ujian sungai itu memisahkan mereka yang siap berjuang dengan kedisiplinan dari mereka yang rapuh. Hanya sedikit yang bertahan, tetapi kelompok kecil inilah yang kemudian diberi kemenangan oleh Allah. Al-Qur’an menegaskan, “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah” (QS. Al-Baqarah: 249). Ketangguhan fisik pemimpin menular kepada pengikutnya, membentuk disiplin kolektif, dan memupuk keberanian menghadapi tirani dan kezaliman.

Keilmuan Berbasis Akhirat

Kekuatan fisik saja tidak cukup untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam negara. Kekuasaan tanpa ilmu akan melahirkan kesewenang-wenangan, seperti tindakan tanpa basis pengetahuan yang menyebabkan mudah terseret kepentingan kelompok, nafsu kuasa, dan kepentingan duniawi jangka pendek.

Politik Islam menuntut pemimpin yang memadukan akal yang jernih, ilmu yang luas, dan pemahaman mendalam tentang syariat. Dalam ayat yang sama, Allah memberi alasan mengapa Thalut, yakni karena kelebihan ilmu. Pemimpin yang berilmu mampu melihat persoalan bukan dari permukaan, tetapi dari akar. Dia mampu merancang kebijakan bukan reaktif, tetapi antisipatif. Dia mampu memutuskan sesuatu bukan demi popularitas, tetapi demi maslahat jangka panjang yang diridai Allah.

Buah kepemimpinan yang berbasis ilmu akherat, maka dia menekankan pentingnya mentauhidkan Allah dan mengagungkan-Nya. Dengan menegakkan tauhid maka Allah memberikan bonus kekuasaan kokoh dan keamanan negeri yang mapan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَـيَسْتَخْلِفَـنَّهُمْ فِى الْاَ رْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَـيُبَدِّلَــنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًا ۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـئًــا ۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)

Dalam perspektif Islam, ilmu politik bukan sekadar strategi merebut kekuasaan, melainkan kemampuan mempertimbangkan dampak kebijakan hingga ke akhirat. Pemimpin berilmu tidak tunduk pada kepentingan sesaat tetapi dengan memperhatikan standar keadilan, kemaslahatan, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ketika sebuah keputusan tampak menguntungkan secara duniawi tetapi berpotensi membawa kezhaliman, pemimpin berilmu akan menolaknya.

Dalam ruang politik modern, di mana kepentingan ekonomi, tekanan elite, dan godaan kekuasaan sangat kuat, pemimpin tanpa fondasi ilmu akan mudah tergelincir, mengabaikan nilai-nilai Islam, dan mencampuradukkan halal dan haram sebagaimana pola yang digambarkan Al-Qur’an dalam berbagai kisah para penentang kebenaran.

Pemimpin yang tidak memiliki keilmuan berbasis spiritual, maka kebijakannya sangat eksploitatif, rakus dan tak peduli terhadap rakyatnya. Bencana alam bisa menjadi contoh kongkret pemimpin yang hilang ruh akhiratnya. Bencana alam berupa banjir, longsor tidak lain sebagai buah atas rendahnya keilmuan pemimpin berbasis akhirat. Bahkan pemimpin membiarkan tindakan yang tidak hanya menghilangkan peran dan kontribusi Tuhan, tetapi justru mempercayai tuhan lain sebagai penopang kekuasaan negaranya.

Surabaya, 1 Desember 2025

Tinggalkan Balasan

Search