Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Syafiq A. Mughni menegaskan pentingnya pelestarian sejarah dalam tubuh Muhammadiyah.
Dia menyoroti urgensi keberadaan museum-museum Muhammadiyah di tingkat lokal sebagai langkah konkret untuk merawat warisan sejarah dan peradaban Islam Indonesia.
“Museum Muhammadiyah yang sekarang sudah ada tentu merupakan capaian yang sangat berarti,” ujar Syafiq A. Mughni kepada Majelistabligh.id, beberapa waktu lalu.
“Namun jangan berpikir bahwa apa yang ada sekarang sudah mencukupi. Masih banyak sekali yang harus digali untuk membuat etalase Muhammadiyah yang representatif. Proyek serupa perlu dikembangkan paling tidak di setiap provinsi,” imbuh dia
Menurut Syafiq, kesadaran sejarah di kalangan Muhammadiyah sebenarnya sudah tumbuh sejak lama, namun belum sepenuhnya menjadi kesadaran kolektif.
Banyak data sejarah Muhammadiyah yang berserakan di berbagai tempat, seperti di Perpustakaan Nasional Jakarta dan bahkan di luar negeri seperti perpustakaan Universitas Leiden di Belanda.
“Alhamdulillah, kesadaran itu kini tampak semakin kuat. Bahkan, dorongan untuk mengembangkan Program Studi Sejarah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) semakin terasa. Beberapa institusi juga telah berhasil menerbitkan sejarah lokal Muhammadiyah yang cukup komprehensif,” ungkapnya.
Bagi Syafiq, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah sumber pengetahuan dan inspirasi yang tak ternilai.
“Orang Muhammadiyah perlu memahami konteks situasi ketika momen-momen penting masa lalu terjadi. Apa penyebab keberhasilan atau kegagalan, kecepatan atau kelambanan perkembangan Muhammadiyah?” kata mantan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim ini.
Dia menambahkan, melalui sejarah, generasi sekarang bisa memahami bagaimana ruh perjuangan, ideologi gerakan, dan budaya organisasi Muhammadiyah terbentuk.
“Itu semua terbangun lewat proses, bukan sesuatu yang instan,” tegasnya.
Syafiq juga menekankan bahwa banyak nilai kejuangan yang bisa dipetik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah masa lalu, seperti keikhlasan, kejujuran, kesabaran, dan ketekunan dalam mengelola organisasi.
Dia juga mengingatkan bahwa dokumen dan benda-benda sejarah Muhammadiyah tidak cukup hanya dikoleksi. Di era digital, langkah selanjutnya adalah digitalisasi.
“Dokumen-dokumen tersebut harus didigitalisasi agar bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dari mana saja,” tutur dosen UIN Sunan Ampel ini.
Tak hanya itu, dia mendorong setiap PTMA untuk turut ambil bagian dengan memberikan dana penelitian kepada mahasiswa pascasarjana, khususnya di bidang Ilmu-Ilmu Sosial, untuk menulis karya ilmiah tentang sejarah Muhammadiyah sebagai tugas akhir studinya.
Langkah ini diyakini dapat memperkaya dan memperkuat khasanah historiografi Muhammadiyah.
Menanggapi kebiasaan sebagian warga Muhammadiyah yang cenderung meragukan keaslian temuan sejarah, Syafiq mengajak untuk bersikap ilmiah.
Dia menekankan pentingnya berpikir kritis dalam menilai sumber sejarah, baik lisan, tulisan, maupun artefak.
“Muhammadiyah menanamkan semangat untuk merujuk pada Al-Qur’an dan sunah. Dalam hal ini, kita menerima sunah maqbulah karena sanadnya bisa dipercaya dan isinya logis dalam perspektif sejarah,” jelasnya.
Syafiq menambahkan, “Belajar sunah Nabi itu sama dengan belajar sejarah Nabi. Maka, jika kita belum menguasai ilmu hadis atau ilmu sejarah, bertanyalah kepada ahlinya dan tetap gunakan nalar rasional. Jangan mudah menolak atau meragukan otentisitas masa lalu tanpa dasar ilmiah.”
Bagi Syafiq, museum bukan hanya tempat menyimpan benda-benda tua, tetapi juga ruang edukasi dan inspirasi yang mencerminkan jejak perjuangan para tokoh Muhammadiyah.
Karena itu, dia menyebut Tim Museum Muhammadiyah sebagai “pemikir dan pekerja dalam kesunyian.”
“Mereka membutuhkan ketekunan dan kesabaran luar biasa, serta napas panjang dalam bekerja. Tugas mereka bukan sekadar membangun satu museum, tetapi juga memfasilitasi dan mendampingi lahirnya museum-museum Muhammadiyah lokal,” tegasnya.
Syafiq juga menekankan pentingnya menampilkan peran para pejuang Muhammadiyah di tingkat lokal dalam berdakwah lewat Persyarikatan.
“Perjuangan mereka juga penting untuk ditampilkan dan diketahui generasi sekarang.”
Sebagai organisasi Islam modern tertua dan terbesar di Indonesia, timpal dia, Muhammadiyah diyakini memiliki kekayaan sejarah yang sangat besar. Namun, menurut Syafiq, kekayaan tersebut belum sepenuhnya terkodifikasi dan terdokumentasi dengan baik.
“Muhammadiyah harus segera mengumpulkan dan menyelamatkan sumber-sumber sejarahnya. Bersikap ulet dalam mengumpulkan data, rajin mewawancarai para tokoh, lalu menuliskannya dalam bentuk cetak dan digital,” ujarnya.
Syafiq menutup dengan sebuah pernyataan penting, “Merawat sejarah berarti menjaga peradaban. Dan menjaga peradaban adalah tanggung jawab generasi sekarang terhadap masa depan.”
Dengan semangat ini, Muhammadiyah terus melangkah, menjaga warisan, merawat peradaban. Bukan hanya untuk internal warga persyarikatan, tetapi juga bagi bangsa Indonesia dan dunia Islam pada umumnya. (wh)
