Kesejahteraan Guru Masih Menjadi Persoalan Dunia Pendidikan

Guru masih menghadapi masalah kesejateraan. (ilustrasi)
www.majelistabligh.id -

Sebagai aktor utama dalam pembentukan kualitas sumber daya manusia, guru masih menghadapi persoalan kesejahteraan yang belum tertangani secara komprehensif dalam dunia pendidikan. Padahal keberhasilan visi Indonesia Emas 2045 juga ditentukan oleh kondisi riil guru, khususnya guru di sekolah swasta dan berbasis masyarakat.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Agung Danarto, M.Ag., menyoroti kebijakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang dalam praktiknya menimbulkan paradoks. Di satu sisi, kebijakan tersebut berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan guru secara individual. Namun di sisi lain, sekolah-sekolah Muhammadiyah justru kehilangan guru-guru terbaiknya dalam jumlah besar karena mereka direkrut dan ditempatkan di sekolah negeri.

Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 3.000 guru Muhammadiyah tercatat diangkat menjadi P3K dan kemudian ditugaskan di sekolah negeri. Agung menyebut kondisi ini sebagai dilema yang sulit dihindari. Muhammadiyah, tambahnya, tidak mungkin melarang para guru mengikuti P3K karena secara faktual persyarikatan belum mampu memberikan tingkat kesejahteraan yang setara dengan negara.

“Kami tentu bersyukur ketika guru-guru kami memperoleh peningkatan penghasilan. Namun pada saat yang sama, sekolah Muhammadiyah kehilangan sumber daya manusia paling berkualitas, dan itu menjadi persoalan serius bagi keberlangsungan pendidikan,” ujar Agung.

Ia menjelaskan bahwa persoalan kesejahteraan guru Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pendidikan Muhammadiyah yang dibangun di atas nilai idealisme, gotong royong, dan pengabdian sosial. Sejak awal berdirinya, sekolah-sekolah Muhammadiyah hadir untuk membuka akses pendidikan bagi masyarakat luas, bukan sebagai lembaga yang berorientasi pada keuntungan.

Kondisi tersebut berdampak pada keterbatasan kemampuan sekolah dalam menjamin kesejahteraan guru secara optimal. Situasi ini membuat Muhammadiyah kerap berada pada posisi dilematis ketika berhadapan dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan guru di tengah keterbatasan sumber daya.

Bagi Muhammadiyah, guru dipandang bukan sekadar tenaga pengajar, melainkan aktor strategis dalam membentuk generasi dan peradaban bangsa. Karena itu, Agung menegaskan bahwa perbaikan kondisi guru harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. “Indonesia tidak akan menjadi bangsa unggul jika para gurunya terus berada dalam kondisi yang rentan dan terpinggirkan,” pungkasnya.

Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMY ini juga meluruskan anggapan bahwa Muhammadiyah memiliki kekayaan besar yang dapat dengan mudah digunakan untuk menyejahterakan guru. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar aset Muhammadiyah berupa tanah wakaf yang secara ekonomi bukan aset produktif, melainkan justru memerlukan biaya besar untuk pembangunan dan pemeliharaan.

“Nilai tanah wakaf memang besar, tetapi di atas tanah itu harus dibangun sekolah atau fasilitas pendidikan lainnya. Proses tersebut membutuhkan biaya yang tidak kecil dan tidak serta-merta menghasilkan pendapatan,” jelasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Search