Ketika Bayi Lahir, Apakah Disunnahkan untuk Diazani?

www.majelistabligh.id -

Kelahiran seorang anak selalu disambut dengan gembira disertai doa dan harapan. Di tengah ragam praktik yang hidup di masyarakat, satu pertanyaan kerap muncul dan terus diperdebatkan: apakah ketika bayi lahir disunnahkan untuk diazani?

Hal pertama yang relatif disepakati adalah anjuran mendoakan bayi agar mendapat keberkahan dan perlindungan dari Allah. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari, Abu Musa meriwayatkan:

“Telah lahir anak bagiku, lalu aku membawanya kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau memberinya nama Ibrahim, kemudian mengunyahkan kurma dan mengoleskannya ke langit-langit mulutnya, serta mendoakannya dengan keberkahan.” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa doa, pemberian nama yang baik, dan permohonan barakah merupakan fondasi awal yang jelas dalam menyambut kelahiran anak.

Doa perlindungan juga memiliki akar kuat dalam Al-Qur’an. Doa istri Imran ketika melahirkan Maryam diabadikan secara eksplisit:

“Maka ketika ia melahirkannya, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sungguh aku melahirkannya seorang perempuan,’ dan Allah lebih mengetahui apa yang ia lahirkan, ‘dan laki-laki tidaklah seperti perempuan. Aku menamainya Maryam, dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada-Mu dari setan yang terkutuk.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa permohonan perlindungan spiritual bagi bayi merupakan praktik doa yang sangat awal, bahkan sejak kelahiran.

Rujukan penting lain terkait perlindungan anak datang dari hadis Ibnu Abbas tentang doa Nabi Muhammad SAW kepada Hasan dan Husain:

“Nabi Muhammad saw. memohonkan perlindungan untuk Hasan dan Husain seraya bersabda: ‘Sesungguhnya ayah kalian (Nabi Ibrahim) dahulu memohonkan perlindungan dengan doa ini untuk Ismail dan Ishaq: Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan, binatang berbisa, dan dari setiap pandangan mata yang jahat.’” (HR. al-Bukhari)

Sekali lagi, yang ditekankan adalah doa dan perlindungan, bukan ritual tertentu yang baku.

Bagaimana dengan Azan di Telinga Bayi?

Di sinilah perdebatan bermula. Dalam masyarakat Muslim, azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi sering dianggap sebagai sunnah. Namun, dalam Muhammadiyah praktik ini tidak diterima sebagai sunnah yang kuat.

Hadis yang sering dijadikan dasar adalah riwayat dari Ubaidillah bin Abi Rafi’:

“Ubaidillah bin Abi Rafi’ meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: ‘Aku melihat Rasulullah SAW. mengumandangkan azan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.’” (HR. Abu Dawud)

Namun, sebagaimana disebutkan dalam literatur hadis, hadis ini dinilai lemah. Karena itu, Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama menyatakan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan dasar sunnah yang mapan.

Penjelasan alternatif yang dikemukakan adalah konteks waktu. Azan tersebut bisa dipahami sebagai azan salat, bukan azan ritual khusus kelahiran, sebab kelahiran Hasan bertepatan dengan waktu salat.

Dengan demikian, azan di telinga bayi tidak dapat dipastikan sebagai sunnah Nabi yang bersifat normatif. Namun, makna yang sering dikaitkan dengannya tetap bernilai: kalimat tauhid sebagai suara pertama yang didengar manusia.

Kalimat tayyibah, entah melalui doa, zikir, atau pengasuhan yang penuh kesadaran tauhid, merupakan fondasi pendidikan iman sejak dini. Islam menekankan substansi. Perlindungan dari setan, doa keberkahan, dan penanaman nilai ketuhanan justru memiliki landasan dalil yang jauh lebih kokoh.

Maka, ketika seorang bayi lahir, Islam dengan jelas menganjurkan doa, pemberian nama yang baik, dan permohonan perlindungan kepada Allah. Adapun azan di telinga bayi, hal tersebut berada di wilayah ikhtilaf dan tidak dapat ditegaskan sebagai sunnah yang kuat berdasarkan kajian hadis. (sumber: muhammadiyah.or.id)

 

Tinggalkan Balasan

Search