*)Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pada hakikatnya, kekuasaan merupakan amanah dari Allah. Ia datang bukan semata-mata karena kehebatan manusia, tetapi karena kehendak dan ketetapan-Nya. Tapi sayangnya, karunia besar ini sering disalahgunakan. Bukan untuk menebar kemaslahatan, melainkan untuk memuaskan nafsu, memperkaya diri, dan menindas yang lemah.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam sejarah, kita bisa melihat begitu banyak penguasa yang memiliki prestasi kemudian diagungkan. Ketika hidupnya diagungkan, justru terlena dengannya. Di saat nyaman dengan jabatan dan keagungannya, mereka terlena dengan fasilitas yang melimpah. Bahkan pelanggarab-pelanggaran yang dilakukan tak tersentuh hukum. Di saat kekuasaan berubah menjadi ladang maksiat itulah, Allah menghancurkannya.
Kekuasaan : Sebuah Amanah
Kekuasaan merupakan amanah. Siapapun akan mendapatkan melalui perjuangan Panjang dan melelahkan. Berbagai prestasi dan keunggulan perlu diciptakan sehingga semua bisa bisa yakin akan kemampuannya dalam memegang kekuasaan. Seorang penguasa sebelum duduk pada tampuk kekuasaan bisa dipastikan memiliki track record dan prestasi yang dianggap unggul.
Karena keunggulan dan prestasi itulah, pribadi-pribadi bisa duduk dalam tampuk kepemimpinan. Kekuasaannya pun kokoh dan tak ada pihak manapun yang menggoyahkannya. Mereka menjadi pemimpin yang diharapkan bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakatnya. Al-Qur’an menarasikan bahwa kokohnya kekuasaan itu semakin kuat dengan berbagai kenikmatan yang Allah turunkan berupa hujan dan sumber air sehingga membuat kehidupan semakin nyaman.
Namun karunia besar itu justru melahirkan perbuatan dosa dan lupa bahwa kekuasaan itu sebagai ladang untuk menyebarkan kebaikan. Bukannya melahirkan perbaikan tetapi justru muncul kemaksiatan-kemaksiatan baru yang sebelumnya dihindarinya. Dosa pun merajalela justru ketika kekuasaannya kokoh. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
أَلَمۡ يَرَوۡاْ كَمۡ أَهۡلَكۡنَا مِن قَبۡلِهِم مِّن قَرۡنٖ مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَا لَمۡ نُمَكِّن لَّكُمۡ وَأَرۡسَلۡنَا ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡهِم مِّدۡرَارٗا وَجَعَلۡنَا ٱلۡأَنۡهَٰرَ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهِمۡ فَأَهۡلَكۡنَٰهُم بِذُنُوبِهِمۡ وَأَنشَأۡنَا مِنۢ بَعۡدِهِمۡ قَرۡنًا ءَاخَرِينَ
Artinya:
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (QS. Al-‘An`ām : 6)
Ayat ini menegaskan bahwa kejayaan dan kemakmuran bukan jaminan keselamatan bilamana tidak untuk menebar kebaikan. Betapa banyak para penguasa yang memiliki berbagai fasilitas justru dimanfaatkan untuk memaksimalkan hawa nafsunya. Mereka melegalkan perjudian, minuman keras, perzinaan hingga tidak peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Kemiskinan dan penderitaan masyarakat bawah yang dahulu ingin dientaskan, saat ini justru dipertahankan demi menopang gaya hidupnya yang mewah dan foya-foya.
Kesampingkan Hukum Tuhan
Yang lebih berbahaya dari penyalahgunaan kekuasaan adalah ketika hukum Allah mulai dikesampingkan. Agama hanya dijadikan simbol politik, dipajang dan disuarakan saat kampanye, disampaikan saat pidato kenegaraan, tapi diabaikan dalam kebijakan bernegara. Hukum Islam yang dahulunya diagungkan, saat berkuasa, mulai disingkirkan dan digantikan dengan hukum-hukum produk buatannya sendiri.
Inilah awal dari kezaliman yang dilembagakan. Aturan hukum bukan lagi menjamin keadilan bagi rakyat, tetapi melindungi kepentingan elite. Korupsi dibiarkan, nepotisme dilanggengkan, dan yang lemah tidak mendapat perlindungan. Kalau sebelum berkuasa, kejahatan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terselubung, namun saat berkuasa kejahatan dilakukan secara terbuka dan kasat mata.
Kecenderungan untuk mengganti hukum agama, sudah menjadi perjalanan Sejarah berbagai peradaban, Al-Qur’an sudah mengingatkan kepada tiga penganut besar, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, maupun Muslim untuk berpegang teguh pada hukum agamanya, namun terjadi justru sebaliknya. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَسۡتُمۡ عَلَىٰ شَيۡءٍ حَتَّىٰ تُقِيمُواْ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ ۗ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم مَّآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ طُغۡيَٰنٗا وَكُفۡرٗا ۖ فَلَا تَأۡسَ عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ
Artinya:
Katakanlah, “Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu”. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhan-mu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS. Al-Mā’idah : 68)
Peringatan ini bukan hanya untuk umat terdahulu. Ia berlaku juga untuk kita hari ini. Karena setiap kali hukum Allah diabaikan dan diganti dengan aturan manusia yang tidak adil, maka kita sedang menggali jurang kehancuran kita sendiri.
Penyimpangan manusia atas hukumnya yang sudah ditetapkan Tuhannya, seolah menjadi hal biasa. Bahkan sekan-akan menjadi sunnatullah bahwa ketika kedudukan kokoh, manusia bukan hanya lupa terhadap kemuliaannya, tetapi justru leluasa melampiaskan kejahatannya. Bukannya bersyukur atas kekuasaan yang telah diraihnya dengan susah payah, tetapi justru berbuat kufur dan menabrak aturan.
Ketika berkuasa, manusia menginginkan semua cita-cita dan kemauannya ingin digapai. Baginya, kekuasaannya sangat memungkinkan untuk mewujudkannya. Namun Al-Qur’an telah mengafirmasi hal itu, sekaligus merpertanyakan keberhasilannya. Hal ini sebagaimana dinarasikan Al-Qur;an sebagaimana firman-Nya :
أَمۡ لِلۡإِنسَٰنِ مَا تَمَنَّىٰ
Artinya:
Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (QS. An-Najm : 24)
Manusia bebas mengagungkan dirinya dan ingin mewujudkan cita-citanya dengan mengandalkan hawa nafsunya. Namun Allah sebagai penegak keadilan tidak membiarkan manusia berbuat sewenang-wenang, dan berkehendak menghentikan berbagai praktek kemaksiatan yang telah menyebar dan merusak keseimbangan alam semesta. (*)
Surabaya, 14 Juli 2025
