Ketika “Misfits” Memimpin

*) Oleh : Dr. Anwar Hariyono, SE, M. Si, CIAP
Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Ketika sebuah perusahaan menempatkan sosok yang salah di puncak pimpinan, dampaknya tak sekedar angka di laporan keuangan, melainkan produktivitas yang merosot tajam.

Sebuah riset dari harvard yang melibatkan hampir 5.000 CEO di 42 negara menemukan, menempatkan “manajer” ketika organisasi butuh “pemimpin” menurunkan efesiensi hingga 20 persen, dan sebaliknya menurunkan kinerja sebesar 15 persen.

Fakta ini menunjukkan bahwa bukan reputasi atau pengalaman semata yang menjamin kesuksesan, melainkan kecocokan gaya kepemimpinan dengan kondisi strategis perusahaan.

Perbedaan mendasar antara pemimpin visioner dan manajer eksekusi sering di abaikan dalam proses rekruitmen.

Sosok visioner unggul saat organisasi harus berinovasi, memasuki pasar baru, atau merespons ketidakpastian, sedangkan manajer andal menjaga stabilitas, memastikan proses berjalan rapi, dan menekan biaya.

Namun, kriteria perekrutan kerap terpaku pada rekam jejak finansial dan nama besar, tanpa menganalisis kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang perusahaan.

Akibatnya, celah pasokan kompetensi pun muncul: dibanyak pasar menengah, talenta manajerial lebih berlimpah dibandingkan calon pemimpin yang mampu memetakan visi besar.

Konteks Indonesia, fenomena misfit ini terasa kian nyata. Banyak korporasi, khususnya plat merah, masih berada di zona nyaman operasional, sehingga inisiatif digitalisasi dan inovasi terhambat oleh skuad kepemimpinan yang terlalu fokus pada efesiensi rutin.

Sebaliknya, saat dibutuhkan pengendalian ketat atas biaya dan kualitas, sosok pemimpin visioner yang cenderung mengambil resiko malah kurang mampu menjalan fungsi kontrol.

Hasilnya, proyek transformasi mandek, biaya membengkak, dan reputasi perusahaan ikut tergerus di mata publik.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, langkah pertama yang bisa diambil adalah melakukan audit strategi dan resiko secara berkala.

Tim lintas fungsi perlu duduk bersama mengklasifikasikan fase bisnis, apakah perusahaan tengah tumbuh pesat, stabil, atau bersiap menghadapi perubahan radikal.

Dengan memetakan peluang dan dampak resiko, organisasi dapat menentukan apakah saat itu lebih memerlukan sosok pemimpin berorientasi visi atau manajer eksekusi yang mendetail.

Selanjutnya, implementasi assesment center berbasis kompetensi menjadi kunci. Semua tergantung hanya pada wawancara tradisional atau referensi senioritas, calon CEO diuji melalui simulasi skenario krisis, akuisisi, hingga efesiensi biaya.

Ujian ini akan mengungkap apakah kandidat lebih nyaman mengalang dukungan untuk visi masa depan atau mengawasi jalannya opersional sehari-hari.

Manakala talenta yang ada belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan, perusahaan perlu merancang program pengembangan ganda.

Jalur fast-track leader memfasilitasi beasiswa MBA atau program eksekutif yang menitikberatkan pada strategi, inovasi, dan perubahan organisasi.

Di sisi lain fast-track manager menyiapkan sertifikasi opersional excelence, seperti lean six sigma dan rotasi jabatan antara unit strategis dan opersaional selama beberapa tahun. Dengan begitu, pipeline kepemimpinan akan lebih beragam, siap melayani perubahan fase bisnis.

Untuk memudahkan proses ini, adopsi platform digital CEO Fit bisa menjadi game changer. Dengan mengkombinasikan hasil psikometri berbasis AI, Feedback 360 derajat, dan data kinerja historis, sistem ini memetakan profil kepemimpinan kandidat secara objektif.

Data-driven insight semacam ini mempersingkat waktu seleksi dan meminimalkan bias subjektif.

Informasi penting lainnya, kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dapat mempercepat pembentukan talenta eksekutif.

Insentif pajak bagi perusahaan yang mengalokasikan minimal 1 persen pendapatan untuk pengambangan kepemimpinan dan subsidi pelatihan di lembaga global akan mendorong investasi jangka panjang.

Ditambah lagi, forum menthorship nasional, mengandeng alumni plat merah, starup unicorn, dan praktisi senior, serta penyelengaraan CEO Exchange tahunan, akan memperkuat bench strength (kemampuan organisasi untuk mengisi posisi-posisi utama secara internal) dan menyebarluaskan contoh terbaiknya.

Pada akhirnya, memperbaiki kecocokan tipe CEO bukan sekedar menyelesaikan persolan personel, melainkan menanamkan budaya strategis yang berkelanjutan.

Ketika dewan, HR, dan pemangku kepentingan eksternal bergerak selaras, dari audit kebutuhan hingga mentorship, perusahaan tidak hanya menutup gap produktivias 15-20 persen, tetapi juga menciptakan keunggulan kompetitif yang tahan guncangan. (*)

Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Search