Beberapa hari lalu, sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya: dari Dr. H. Mukhlis, M.Si, Ketua PDM Banyuwangi. Ini cukup mengejutkan, karena biasanya beliau jarang, bahkan hampir tidak pernah menghubungi saya secara langsung.
Kyai Mukhlis, begitu dia karib disapa, adalah sosok yang kalem, santun, murah senyum, dan penuh kebijaksanaan. Isi pesannya cukup panjang. Sekitar 20 baris di layar ponsel. Saya butuh sedikit konsentrasi untuk membacanya.
Setelah saya baca, isinya sangat menarik. Saya pun menuntaskan membacanya tanpa jeda. Sebuah auto-kritik yang menjadi pengingat tentang tantangan besar dalam pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) saat ini. Pesan tersebut ditulis dengan gaya permainan kata yang sarat makna. Simak penggalan berikut:
“Dulu sekolah, rumah sakit, gaji karyawannya lancar, keuangan gancar. Jika salah kelola bisa menjadi bubar, barbar, dan ambyar.
Jika dulu sekolah, rumah sakit hidup sentosa dan sejahtera, jika salah kelola bisa menjadi sengsara dan berubah menjadi saling prasangka.
Jika dulu sekolah dan rumah sakit itu kuat dan hebat, jika salah kelola bisa menjadi sekarat, beban berat, dan sering dihujat.”
Saya tersenyum membacanya, lalu langsung membalas, “Leres saestu, Kyai.”
Ya, pesan ini bukan sekadar permainan kata. Ini adalah cermin dari realitas yang mulai tampak di sejumlah AUM kita hari ini, khususnya rumah sakit dan klinik.
Di tengah gempuran persaingan yang semakin tajam, regulasi pemerintah yang makin ketat, serta tuntutan mutu yang terus meningkat, musuh terbesar kita justru datang dari dalam: konflik antar pengurus, tarik-menarik kepentingan, ego sektoral, dan ketidaksiapan manajerial.
Sayangnya, masih ada yang mengira bahwa mengelola AUM cukup dengan niat baik dan semangat dakwah saja. Padahal, di era yang serba kompleks ini, niat baik saja tidak cukup.
Pesan Kyai Mukhlis sangat jelas: mengelola rumah sakit dan klinik harus dilakukan dengan kesungguhan, semangat yang tak pernah padam, dan pengelolaan yang berkualitas.
Saya menerjemahkannya sebagai kebutuhan akan manajemen modern, profesionalisme yang terukur, serta kompetensi yang terus ditingkatkan. Tanpa itu semua, niat baik justru bisa membawa institusi kita menuju jurang keterpurukan.
Namun, Kyai Mukhlis tidak berhenti sampai di situ. Beliau juga mengingatkan satu kunci penting yang sering terlupakan: kekompakan, kerukunan, musyawarah, dan kesabaran.
Dalam pengamatan saya, seiring berkembang dan kompleksnya organisasi Muhammadiyah yang telah berusia lebih dari satu abad, arah komunikasi dan koordinasi menjadi semakin formalistik dan kaku. Ini tentu merupakan konsekuensi dari skala organisasi yang besar.
Namun, di sinilah pentingnya pesan beliau: komunikasi dan koordinasi harus diimbangi dengan pendekatan yang cair. Bukan sekadar mengikuti prosedur formal, melainkan membangun suasana saling memahami pikiran, membaca perasaan, mengelola emosi, dan menjaga harmoni.
Pengalaman saya di Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PWM Jawa Timur mengajarkan satu hal penting: banyak persoalan pelik justru lebih mudah diselesaikan dalam suasana informal, sambil ngopi dan ngobrol santai.
Ketika suasana cair, orang datang bukan untuk menang dalam debat, tetapi membawa hati untuk mencari solusi.
Sebaliknya, forum resmi sering kali buntu karena masing-masing pihak sudah siap dengan argumentasi untuk mempertahankan pendapat.
Sesungguhnya, kegagalan organisasi tidak semata-mata disebabkan oleh buruknya sistem, tetapi karena rapuhnya relasi antar pengurus.
Oleh karena itu, dibutuhkan pimpinan persyarikatan dan AUM yang tidak hanya cakap secara manajerial, tetapi juga matang secara emosional, mampu membangun kepercayaan, serta piawai merawat hubungan dalam suka maupun duka.
Mengelola AUM hari ini memerlukan lebih dari sekadar niat baik. Diperlukan profesionalisme, kompetensi, serta kemampuan membangun komunikasi yang saling memahami.
Dengan tata kelola yang sehat dan suasana organisasi yang kondusif, AUM akan terus menjadi institusi yang tumbuh, dipercaya, dan berkontribusi positif bagi persyarikatan dan umat. (*)
