Ketika Takbir Menggetarkan Langit Surabaya: Iman, Jihad, dan Arti Kemerdekaan

Bung Tomo memompa semangat perjuangan (ist)
*) Oleh : Moh. Mas’al, S.HI. M.Ag
Kepsek SMP Al Fattah dan Anggota MTT PDM Kab SIdoarjo
www.majelistabligh.id -

Tanggal 10 November 1945 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan nyala api iman dan keberanian yang membakar jiwa bangsa Indonesia. Di Surabaya, kota yang kemudian dijuluki Kota Pahlawan, rakyat dari segala lapisan bersatu: ulama, santri, pemuda, dan rakyat jelata. Mereka menolak untuk tunduk kepada penjajahan yang ingin kembali menginjak bumi merdeka.

Suasana kala itu tidak hanya diwarnai deru peluru dan ledakan bom, tetapi juga gema takbir yang menggetarkan langit Surabaya. Seruan “Allāhu Akbar!” bergema dari mulut ke mulut, dari lorong-lorong kampung hingga medan tempur. Takbir bukan sekadar teriakan, melainkan energi spiritual yang meneguhkan hati, bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah bentuk jihad fī sabīlillāh.

Tokoh besar Bung Tomo menjadi suara rakyat dalam perjuangan itu. Dalam pidatonya yang terkenal, ia menyerukan:

“Saudara-saudara! Jangan kita mundur selangkah pun! Lebih baik hancur lebur daripada dijajah kembali! Allahu Akbar!”

Kata Allāhu Akbar menjadi napas perjuangan. Ia menandakan bahwa kemerdekaan bukan hanya cita-cita politik, tetapi amanah ilahi untuk dijaga dan diperjuangkan dengan iman.

Resolusi Jihad dan Kematian Jenderal Mallaby

Sebelum pertempuran besar meletus, KH. Hasyim Asy‘ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa itu menegaskan bahwa melawan penjajah adalah kewajiban suci bagi setiap Muslim yang mampu:

“Berperang menolak dan melawan penjajah yang hendak kembali berkuasa atas Indonesia hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuknya musuh.”

Fatwa tersebut menjadi api penyulut perjuangan. Ketika Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di Surabaya pada 30 Oktober 1945, Inggris pun mengultimatum rakyat untuk menyerahkan senjata. Namun, rakyat menjawab dengan perlawanan.

Pertempuran besar pun pecah pada 10 November. Ribuan syuhada gugur. Namun semangat mereka abadi – mengalir sebagai darah juang bangsa yang berlandaskan iman.

Mereka meneladani firman Allah ﷻ:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)

Dan mereka yakin dengan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Barang siapa terbunuh karena membela agamanya, maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, no. 4772)

Cermin untuk Generasi Kekinian

Kini, delapan dekade telah berlalu. Senjata telah diganti dengan pena, medan perang telah berubah menjadi ruang pendidikan, ekonomi, dan moral. Namun, jiwa perjuangan itu tidak boleh padam.

Musuh hari ini tidak lagi datang dengan kapal dan meriam, tetapi hadir dalam bentuk kebodohan, korupsi, dekadensi moral, dan kemalasan. Inilah penjajahan gaya baru yang diam-diam melumpuhkan bangsa.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2664)

Kekuatan iman dan ilmu menjadi senjata generasi baru. Bila dahulu para pahlawan mengangkat bambu runcing, maka kini pemuda harus mengangkat pena dan akhlak. Perjuangan modern adalah menegakkan kebenaran, memberantas kebodohan, dan mengabdi kepada masyarakat dengan keikhlasan.

Firman Allah ﷻ mengingatkan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)

Penutup: Takbir dari Masa ke Masa

Hari Pahlawan bukan hanya nostalgia, tetapi panggilan iman untuk melanjutkan perjuangan. Takbir yang dahulu menggema di Surabaya kini harus menggema di hati setiap insan beriman.

Sebagaimana pepatah ulama:

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيمَانِ

“Cinta tanah air adalah bagian dari iman.”

Selama di dada bangsa ini masih ada takbir, semangat, dan cinta tanah air, maka penjajahan – dalam bentuk apa pun — tak akan pernah menang.

Daftar Referensi

  1. Al-Qur’an al-Karīm, QS. Al-Baqarah [2]: 190; QS. Ar-Ra‘d [13]: 11.
  2. Hasyim Asy‘ari, Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, 1945.
  3. Abu Dawud, Sunan Abī Dāwūd, no. 4772.
  4. Muslim ibn al-Hajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 2664.
  5. Nugroho Notosusanto, Pertempuran Surabaya 10 November 1945, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978).
  6. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2010).
  7. Kementerian Sosial Republik Indonesia, Sejarah Hari Pahlawan 10 November, (Jakarta: Kemensos RI, 2022).

Tinggalkan Balasan

Search