*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana
Tawadhu berasal dari bahasa Arab, dari kata wadla’a, yang berarti “meletakkan” atau “menempatkan.”
Secara sederhana, tawadhu diartikan sebagai sikap menempatkan diri pada posisi yang sewajarnya, jauh dari kesombongan. Lawan dari tawadhu adalah takabur, yaitu sifat angkuh dan sombong.
Ahmad Muhammad Al-Hufy dalam bukunya Akhlak Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa tawadhu adalah sikap merendah diri tanpa merendahkan martabat. Sikap ini tidak membuat seseorang hina, tetapi justru menjaga kehormatan diri.
Sebaliknya, takabur akan menimbulkan kedengkian, rasa selalu benar, dan berpotensi menciptakan ketidakharmonisan di antara sesama.
Rasulullah saw, sebagai teladan utama umat manusia, adalah sosok yang paling sempurna dalam menunjukkan ketawadhuan. Sikap rendah hati beliau tidak pernah mengurangi wibawa atau penghormatan dari umatnya.
Al-Ghazali dalam Akhlak Mulia Rasulullah menyebutkan bahwa Rasulullah adalah manusia paling tawadhu, meskipun beliau memiliki kedudukan yang tinggi.
Salah satu peristiwa yang menunjukkan ketawadhuan beliau adalah ketika melempar jumrah di atas unta abu-abu tanpa menunjukkan sifat keras atau angkuh.
Dikisahkan pula, ketika seorang lelaki datang menemui Rasulullah, ia gemetar ketakutan karena merasa takjub dengan kewibawaan beliau. Melihat hal itu, Rasulullah menenangkannya dengan berkata:
“Ringankanlah dirimu, aku bukanlah seorang raja. Aku hanyalah putra seorang perempuan Quraisy yang memakan potongan daging kering” (HR Al-Hakim).
Para sahabat sering menyaksikan bagaimana Rasulullah tidak pernah meninggikan dirinya. Beliau menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, menghadiri undangan budak, dan tidak segan menambal sandal, menjahit pakaian, atau membantu pekerjaan rumah tangga bersama istri-istri beliau.
Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk bersikap tawadhu, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Asy-Syu’ara’ ayat 215:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin.”
Tafsir Kemenag menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk rendah hati dan ramah kepada orang-orang yang beriman.
Dengan cara ini, dakwah beliau menjadi lebih efektif karena menarik simpati dan kasih sayang sesama mukmin.
Allah juga berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.”
Hakikat dan Manfaat Tawadhu
Hakikat tawadhu adalah memandang orang lain selalu lebih baik dari diri sendiri. Sikap ini membawa dua manfaat besar:
- Memuliakan Orang Lain
Dengan menganggap orang lain lebih baik, seseorang tidak mudah meremehkan orang lain. Hal ini mempermudah interaksi sosial dan melahirkan akhlak mulia.
2. Terus Memperbaiki Diri
Sikap tawadhu membuat seseorang merasa perlu meningkatkan kualitas diri karena menyadari adanya kekurangan dalam dirinya.
‘Abdullah Al-Muzani memberikan nasihat yang sangat mendalam:
“Jika iblis memberikan was-was bahwa engkau lebih mulia dari orang lain, maka perhatikanlah. Jika ada orang yang lebih tua darimu, katakanlah, ‘Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal saleh dariku.’ Jika ada orang yang lebih muda darimu, katakanlah, ‘Aku telah lebih dahulu bermaksiat dan berlumuran dosa dibanding dirinya.’” (Hilyatul Awliya’, 2/226).
Tawadhu bukanlah kelemahan, melainkan cerminan ketulusan hati dan kematangan spiritual.
Dengan tawadhu, seseorang tidak hanya menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga mempererat hubungan dengan sesama.
Rasulullah saw adalah bukti nyata bahwa kerendahan hati justru meninggikan martabat seseorang di mata manusia dan Allah SWT. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News