Kontroversi Usulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ini Tanggapan Pakar Hukum UM Surabaya

www.majelistabligh.id -

Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat ke ruang publik dan menimbulkan perdebatan sengit di kalangan akademisi, aktivis HAM, dan masyarakat luas.

Salah satu suara kritis datang dari Universitas Muhammadiyah  Surabaya (UM Surabaya). Pakar Hukum Tata Negara dari kampus tersebut, Satria Unggul Wicaksana, SH, MH.

“Soeharto tidak pantas dianugerahi gelar kehormatan tertinggi bangsa tersebut, dengan mempertimbangkan sejumlah pelanggaran serius terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang terjadi selama masa pemerintahannya,” katanya pada Sabtu (31/5/2025).

Satria menegaskan bahwa berdasarkan catatan sejarah yang tersedia secara luas dan telah dikaji oleh berbagai pihak, Soeharto merupakan sosok yang sangat kontroversial, terutama dalam konteks pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi sistemik yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru.

“Kalau kita merujuk pada peristiwa-peristiwa sejarah dan rekam jejak pemerintahannya, sangat sulit untuk membenarkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto,” ungkap Satria.

Dia menyebutkan sejumlah peristiwa kelam yang terjadi semasa Orde Baru, seperti Tragedi Talangsari di Lampung pada 1989, penembakan misterius (Petrus) yang terjadi pada awal 1980-an, serta berbagai bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat sipil, aktivis, dan kelompok yang dianggap berseberangan dengan rezim.

Menurutnya, tindakan-tindakan ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi dasar pemberian gelar pahlawan.

“Jutaan nyawa manusia menjadi korban akibat pendekatan represif pemerintahan Soeharto. Belum lagi kita bicara tentang krisis multidimensi tahun 1998 yang membuat bangsa ini nyaris runtuh,” ujar Satria.

Dia juga menyoroti peran Soeharto dalam lepasnya Timor Timur dari pangkuan Indonesia, yang menurutnya tidak bisa dilepaskan dari kegagalan diplomasi dan tekanan internasional akibat pelanggaran HAM.

Selain aspek kekerasan negara, Satria juga menyinggung praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar kuat dalam pemerintahan Soeharto.

Satria menyatakan, keluarga Cendana, yakni lingkaran dalam Soeharto, memperoleh akses besar terhadap sumber daya negara melalui berbagai konsesi bisnis, yang memperparah ketimpangan ekonomi dan memperkuat oligarki.

“Meskipun ada catatan pembangunan, seperti swasembada pangan dan pertumbuhan ekonomi di era tertentu, itu semua dibangun di atas fondasi yang rapuh: utang luar negeri yang menumpuk, ketergantungan pada kapitalisme kroni, dan penyalahgunaan kekuasaan,” jelasnya.

Satria mengingatkan, salah satu penyebab utama krisis ekonomi 1998 adalah utang yang membebani negara serta tidak adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran negara.

Baginya, krisis tersebut menjadi titik balik yang memperlihatkan kerusakan sistemik akibat penyimpangan dalam pemerintahan Orde Baru.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukan hanya soal pencapaian individual dalam pembangunan, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi etis, moral, dan historis secara menyeluruh.

Satria memperingatkan adanya potensi konflik kepentingan dalam proses ini, mengingat Presiden saat ini, Prabowo Subianto, adalah mantan menantu Soeharto.

“Dalam konteks politik sekarang, kita harus sangat berhati-hati. Pemberian gelar ini tidak boleh dipengaruhi oleh hubungan pribadi atau tekanan politik. Jika tokoh yang memiliki tanggung jawab atas pelanggaran HAM justru diberi gelar pahlawan, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi bangsa,” tegasnya.

Satria juga menyerukan agar Kementerian Sosial dan Dewan Gelar yang berada di bawah naungan Istana Negara benar-benar mendengarkan suara masyarakat sipil, aktivis reformasi, serta keluarga korban pelanggaran HAM.

Dia berharap bahwa nilai-nilai reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998 tidak diabaikan begitu saja demi kepentingan politik sesaat.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Sosial saat ini tengah membentuk tim ad hoc yang terdiri dari para ahli sejarah, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat untuk mengkaji sejumlah usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional, termasuk untuk Soeharto.

Tim ini dijadwalkan menggelar sidang awal pada Juni mendatang sebelum menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Sosial dan diteruskan kepada Dewan Gelar di Istana.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas sejarah dan luka kolektif yang masih dirasakan sebagian masyarakat Indonesia akibat praktik represif di masa lalu, Satria berharap keputusan yang diambil akan benar-benar berlandaskan kejujuran sejarah, bukan romantisme kekuasaan.

“Negara harus menunjukkan bahwa kita benar-benar belajar dari masa lalu, bukan justru mengulang luka yang belum sembuh dengan memberikan penghargaan kepada tokoh yang masih dipertanyakan secara etis dan historis,” pungkasnya. (*/wh)

 

Tinggalkan Balasan

Search