“Kultur organisasi Muhammadiyah adalah tidak mencari jabatan, tetapi jika diberi amanah jabatan, harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan penuh keiklasan.”
Nasihat inilah beberapa kali disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sekaligus sebagai sesepuh, tentu nasihat ini tidak ada salahnya diulang-ulang, agar marwah Muhammadiyah tetap terjaga. Jika semua tulus dan ikhlas berkhidmat dan tidak saling berebut posisi, Insya Allah Muhammadiyah tetap terjaga.
Pertanyaannya, benarkah kultur organisasi Muhammadiyah steril dari perebutan jabatan?
Proses transformasi kepemimpinan adalah kunci keberhasilan sebuah organisasi. Muhammadiyah selalu menanamkan kepada para kadernya untuk tidak pernah berebut jabatan. Tetapi jika jabatan telah diberikan, maka kita harus menunaikan amanah itu dengan penuh pengabdian dan keikhlasan.
Namun semboyan itu perlahan memudar. Beragam kepentingan masuk ke dalam organisasi Muhammadiyah, menjadikan kompetisi ide dan gagasan sering dikalahkan oleh isu figur yang akan ditampilkan. Dari sinilah praktik rebutan jabatan akan dimulai.
Seusai Muktamar 2010 di Yogyakarta, Buya Syafii Maarif pernah melontarkan kegelisahan yang tidak bisa kita anggap enteng. Beliau menyebut adanya fenomena tim sukses calon ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah, fenomena yang bagi beliau terasa asing, bahkan sudah sangat mengkhawatirkan.
Buya Syafii menyampaikan bahwa hadirnya tim sukses dengan gaya partai politik telah menimbulkan kerisauan mendalam. Fenomena ini terasa seperti sesuatu yang tidak tumbuh dari kultur Muhammadiyah yang selama ini menanamkan kesadaran ikhlas, amanah, dan keteladanan.
Indikasi kehadiran tim sukses bukanlah ilusi. Penulis menyaksikan sendiri bagaimana pola komunikasi informal, lobi personal, dan penggalangan dukungan mulai terbentuk jauh sebelum muktamar dilaksanakan.
Pada Muktamar Makassar 2015 maupun Surakarta 2022, aroma adanya upaya-upaya intervensi dari kekuasaan semakin terasa, melibatkan figur-figur pimpinan amal usaha hingga dukungan logistik yang kian terstruktur.
Keresahan Buya Syafii ini penulis angkat, agar menjadi bahan muhasabah kita bersama. Kita berharap denyut nadi Muhammadiyah tetap tegak lurus menuju kemurnian tauhid: berjuang, mengabdi, dan mengikhtiarkan kebaikan dan amal saleh bukan karena ambisi, tetapi karena panggilan iman.
Namun, realitasnya fenomena rebutan jabatan ini telah berkembang semakin luas. Tidak jarang kita menyaksikan munculnya fitnah, propaganda halus, hingga polarisasi internal hanya demi memenangkan pemilihan pimpinan. Ketika pendekatan gaya politik kekuasaan lebih dominan dibanding nilai ideologis, maka proses kaderisasi sepertinya tidak ada gunanya lagi.
Dinamika Salah Kaprah
Fenomena tim sukses dalam forum permusyawaratan bahkan kini hadir hingga ke level PWM dan PDM. Banyak yang memandangnya sebagai dinamika wajar organisasi modern. Namun tiba-tiba kita akan tersentak ketika menyadari bahwa sejumlah daerah kini dipimpin figur yang tidak lagi berjalan dengan visi besar Persyarikatan, melainkan sekadar menjalankan rutinitas seremonial saja.
Bahwa acapkali muncul sikap tidak legowo ketika ada pihak yang merasa gagal memperoleh jabatan, adalah sebuah gejala yang dulu terasa mustahil ada dalam kultur Persyarikatan Muhammadiyah. Beruntung, Muhammadiyah masih memiliki basis cabang dan ranting. Pada level inilah kemurnian masih terasa: kerja nyata dan aksi sosial lebih menonjol daripada simbol, dan pengabdian hadir tanpa pamrih atas kalkulasi kepada kepentingan.
Cabang dan ranting adalah benteng terakhir nilai keikhlasan. Mereka bekerja bukan karena kamera atau mikrofon, bukan karena struktur atau gelar organisasi, tetapi karena dorongan iman dan khidmat. Di pundak merekalah kemurnian semangat jiwa ber-Muhammadiyah masih hidup. Dan mungkin di Cabang-Ranting pula, kita dapat kembali belajar tentang memimpin tanpa ingin dipilih, dan berjuang tanpa rebutan jabatan.
Kultur Senyap Rebutan Jabatan
Fenomena rebutan jabatan juga terang benderang terjadi di kepemimpinan amal usaha. Terlebih jika AUM tersebut telah besar dan profitable. Perebutan dan intrik internal kerap menyertai. Bahkan, terkadang melibatkan struktur pimpinan persyarikatan di atasnya. Berbeda jika AUM-nya masih kecil dan belum berkembang. Mereka yang terlibat didalamnya nampak lebih tulus dan nilai-nilai ideologisnya masih kuat tertanam.
Sebagian ortom tingkat pusat pun tidak luput dari gejala rebutan jabatan ini. Prinsip fastabiqul khairat tercemari ambisi personal dan kelompok. Apalagi ortom Muhammadiyah tingkat pusat, kini semakin terbaca sebagai jalur strategis menuju panggung politik nasional. Tarikan kepentingan pun semakin kentara.
Dinamika yang terjadi dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan menunjukkan bagaimana kompetisi internal bisa bergeser dari ruang dakwah menuju ruang kontestasi politik. Sebagian menganggap ini wajar. Namun bagi sebagian kalangan yang jernih mengamati gejala tersebut, pasti akan melihatnya sebagai alarm peringatan yang serius.
Muktamar IMM dalam beberapa periode terakhir, penulis amati semakin menampakkan gejala perebutan jabatan yang agak liar. Baik Pemuda Muhammadiyah, maupun IMM, terindikasi melibatkan aktor luar. Tentu hal ini tidak pantas untuk dibiarkan.
Fenomena paling mengejutkan justru muncul dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Pembatalan hasil muktamar IPM karena ada indikasi kecurangan, bukan hanya peristiwa organisatoris, tetapi jelas ini tamparan yang sangat memalukan. Jika pelajar sudah mengenal transaksi jabatan, maka kita patut bertanya: “Nilai apa yang sebenarnya sedang diwariskan kepada generasi penerus Muhammadiyah nanti?”
Karena itu, kini saatnya Muhammadiyah melakukan koreksi arah dengan kesungguhan. Kita tidak boleh menormalisasi praktik yang mengaburkan nilai kebenaran dengan dalih dinamika organisasi. Jabatan dalam Muhammadiyah bukan ruang transaksi, bukan panggung ambisi, bukan tiket mobilisasi sosial, dan bukan pula gelanggang kompetisi politik terselubung. Karena jabatan adalah amanah dakwah.
Kita membutuhkan keberanian moral untuk menghentikan praktik rebutan jabatan, memperbaiki pola kaderisasi, dan membangun sistem regenerasi yang mengutamakan integritas dan keteladanan akhlak sebagai Pimpinan.
Nasihat Haedar Nashir dan Buya Syafii tentang kultur Muhammadiyah harus kita renungkan. Semua tetap berjalan dengan sistem yang proporsional dan prefesional. Dan inilah yang membuat marwah Muhammadiyah tetap terjaga hingga kini, sejak didirikan oleh Kyai Ahmad Dahlan pada 113 tahun yang lalu.
Muhammadiyah harus tetap melakukan koreksi internal dengan kesungguhan. Jabatan dalam Muhammadiyah bukan ruang transaksi, bukan panggung ambisi, bukan tiket mobilisasi sosial, dan bukan pula gelanggang kompetisi politik terselubung. Karena jabatan adalah amanah dakwah, inilah yang harus dipegang teguh.
Memperbaiki pola kaderisasi dan membangun sistem regenerasi yang mengutamakan integritas dan keteladanan akhlak sebagai Pimpinan, harus tetap dijalankan oleh Muhammadiyah untuk membendung intervensi dari luar. Kultur oraganisasi harus tetap dipertahankan, nasihat orang tua harus kita takzimi. Koreksi diri menjadi pengingat agar Muhammadiyah tetap sebagai organisasi yang memiliki masa depan yang cemerlang. Insya Allah. (*)
Ciputat, 10 Rabiul Akhir 1447/ 1 Desember 2025
