Malu, Cermin Keimanan yang Mulai Pudar

Malu, Cermin Keimanan yang Mulai Pudar
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana

اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانُ.

“Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman) (HR. Bukhâri dari Shahabat Abû Hurairah Radhiyallahu anhu).

Malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.

Di antara bentuk malu yang pertama adalah malunya seorang hamba kepada Tuhannya. Yang kedua adalah malunya seorang hamba kepada sesama.

Adapun malunya seorang hamba kepada Allah, telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi secara marfu’ bahwa beliau pernah bersabda;

استحيوا من الله حق الحياء » . قالوا: إنا نستحيي يا رسول الله. قال: « ليس ذلكم. ولكن من استحيا من الله حق الحياء فليحفظ الرأس وما وعى، وليحفظ البطن وما حوى، وليذكر الموت والبلى. ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا، فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء »

“Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya” Para sahabat berkata; “Sungguh kami malu (kepada-Nya) wahai Rasulullah” Beliau bersabda; “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebenarnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala; menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut; menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Dan hendaklah ia mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, niscaya ia meninggalkan perhiasan hidup di dunia dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.”

Dalam hadis di atas menjelaskan bahwa di antara tanda malu kepada Allah yaitu dengan menjaga anggota badan dari maksiat kepada-Nya, dan juga dengan banyak mengingat mati dan tidak panjang angan-angan terhadap dunia, tidak tenggelam dan memperturutkan syahwat sehingga melalaikan akhirat.

Sedangkan malunya Allah kepada seorang hamba adalah malu bila hambanya berdoa dan memohon kepada-Nya untuk tidak mengabulkannya, dan malu untuk mengadzab hambanya apabia hamba tersebut berbuat maksiat kepadanya.

Orang yang masih memiliki rasa malu kepada sesama pastinya ia akan menjauhkan diri dari akhlak dan perilaku yang tercela, menjauhkan diri dari berkata kotor, tidak bangga dengan perbuatan maksiat dan sebagainya, malu bila menampakkan aibnya kepada orang lain dan menghindarkan diri dari akhlak yang tercela.

Benarlah sabda Nabi ahalallahu alaihi wassallam yang mengatakan;

إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Bila engkau tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu”.(HR.Tirmidzi)

Dan malu kepada Allah adalah dengan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang dilarang oleh Allah baik ketika ada orang maupun dikala sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *