Melihat yang Tak Terlihat: Belajar dari Masyarakat Thailand Selatan

*) Oleh : Hanif Abdurahman Siswanto
Mahasiswa Pascasarjana di Centre for Policy Research, Universiti Sains Malaysia
www.majelistabligh.id -

Kesempatan untuk melintasi batas negara ke Thailand Selatan adalah pengalaman yang memperkaya, terutama bagi saya sebagai mahasiswa ilmu sosial yang sedang menimba ilmu di negeri jiran, Malaysia.

Wilayah ini tidak asing, sebab saya telah menghabiskan lebih dari separuh hidup saya di sekitar Semenanjung, wilayah yang hanya dipisahkan oleh tembok dan kantor imigrasi.

Tapi justru dari batas tipis itulah, saya menyadari betapa kompleks dan kayanya dinamika sosial di setiap sudut kawasan Asia Tenggara.

Melalui perjalanan wisata dua hari ke Hat Yai dan Songkhla, dua kota penting di Thailand Selatan, bersama teman-teman dari Tiongkok dan Indonesia, saya menemukan banyak hal yang menggugah pikiran dan mengubah persepsi lama saya.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di Thailand. Sebelumnya, saya pernah berjalan kaki dari perbatasan Kelantan dan Thailand yang dipisahkan oleh Sungai Golok.

Tapi perjalanan kali ini terasa berbeda karena saya menyetir langsung dari Pulau Pinang, Malaysia. Inilah keistimewaan kawasan yang terhubung erat satu sama lain, di mana perjalanan lintas negara bisa dilakukan hanya dengan kendaraan darat.

“Buat apa ke Thailand?” Kalimat itu kerap saya dengar dengan nada sinis, seolah-olah Thailand hanya dipandang sebagai destinasi wisata yang negatif.

Imajinasi tentang dunia malam, pelacuran, dan kekacauan sosial kerap kali menjadi stereotip yang melekat.

Bahkan bagi sebagian masyarakat di negara-negara tetangganya, menyebut kata “Thailand” seperti membunyikan alarm kecurigaan moral.

Persepsi ini sungguh mengganggu dan sayangnya sering diterima begitu saja, tanpa keinginan untuk memahami realitas yang lebih luas.

Sebagai mahasiswa ilmu sosial, saya merasa penting untuk membongkar pandangan sempit semacam ini.

Maka, saya mencoba mengamati dengan jernih. Betulkah Thailand, khususnya wilayah selatanny, seburuk yang dibayangkan?

Apakah masyarakatnya sedemikian tertinggal, atau justru kita yang tertinggal dalam cara pandang terhadap keragaman?

Saya berangkat dengan ekspektasi bahwa daerah Selatan Thailand akan didominasi oleh komunitas Muslim.

Tapi ternyata, kehadiran Muslim di Hat Yai dan Songkhla tidak sekuat yang saya bayangkan. Dominasi budaya Thai Buddhist tetap sangat terasa.

Mulai dari simbol-simbol keagamaan, hingga kuil-kuil yang berdiri megah, menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial kota.

Bahkan, destinasi pertama yang saya kunjungi adalah sebuah kuil putih di dekat perbatasan, simbol keindahan sekaligus kekuatan budaya Thai.

Menariknya, bahasa Melayu tampaknya menjadi semacam “penanda identitas” Islam di kawasan ini.

Saat saya berbicara dalam bahasa Melayu, perempuan-perempuan berkerudung dengan ramah membalas dalam bahasa yang sama. Sebuah kode sosial yang mungkin tak terlihat, tapi bisa dirasakan oleh mereka yang sensitif terhadap dinamika budaya.

Kesan pertama melihat kota Hat Yai adalah ketidakteraturan: kabel listrik menjuntai semrawut di tiang-tiang jalan, pengendara motor tanpa helm, kendaraan besar yang tampak liar, dan moda transportasi tuk-tuk yang sangat tradisional.

Namun saya sadar, persepsi ini lahir dari kacamata yang sempit, dari cara pandang modernistik yang menilai kemajuan hanya dari keteraturan fisik dan visual.

Justru, dari kekacauan visual ini saya mulai menemukan nilai-nilai tersembunyi yang tak terlihat oleh pandangan kasat mata. Di balik kabel yang semrawut, ada pasar-pasar yang bersih dan tertata.

Di balik pengendara motor tanpa helm, ada kesadaran untuk berkendara dengan tertib dan pelan, demi keselamatan bersama. Di balik kesan tradisional tuk-tuk, ada harmoni dalam mobilitas warga lokal yang tak terjerat kemewahan semu.

Pasar tradisional seperti Kim Yong Market menjadi salah satu tempat yang paling menggambarkan dinamika ini.

Warga lokal dan turis berdatangan sejak pagi untuk membeli sayur, buah, dan makanan lokal. Meski ramai, kebersihan pasar tetap terjaga.

Penjual menyediakan tempat sampah berplastik bening dan tidak membuang limbah sembarangan. Ini sangat kontras dengan gambaran kita tentang pasar tradisional di banyak kota lain di Asia Tenggara.

Hal lain yang saya kagumi adalah trotoar dan jalanan yang ramah bagi pejalan kaki. Sebuah kenyamanan sederhana yang sering kita rindukan di kota-kota besar Indonesia. Di Hat Yai dan Songkhla, trotoar bukan sekadar pelengkap arsitektur, tetapi ruang sosial yang hidup.

Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa kemajuan tak bisa diukur dari megahnya gedung pencakar langit atau rapinya jalan raya.

Kemajuan bukan sekadar tampilan fisik, tapi bagaimana masyarakat menjalani hidup dengan tertib, saling menghormati, dan menjaga ruang publik dengan kesadaran.

Thailand, khususnya bagian selatannya, menunjukkan kepada saya bahwa masyarakat yang tampak ‘tidak modern’ dari luar, bisa jadi memiliki kesadaran sosial dan budaya yang lebih maju dari yang kita sangka.

Apakah yang sedang kita kejar sebagai sebuah bangsa? Apakah kemajuan berarti harus mengikuti jejak negara-negara Barat, atau justru membangun karakter sendiri berdasarkan nilai-nilai lokal yang kuat?

Apa gunanya negara yang tampak maju jika masyarakatnya kehilangan kepekaan sosial dan spiritual?

Bangsa yang berperadaban tinggi tidak perlu menunggu negaranya menjadi maju terlebih dahulu. Justru, bangsa itu sendiri yang seharusnya menjadi penggerak utama kemajuan negara.

Sebagai mahasiswa sains sosial, perjalanan ke Thailand Selatan bukan sekadar pelesiran, melainkan bagian dari proses belajar dan pembongkaran persepsi. Dunia tidak sesederhana hitam dan putih.

Setiap tempat memiliki kompleksitasnya sendiri, dan tugas kita adalah terus membuka diri untuk memahami, bukan menghakimi. (*)

Tinggalkan Balasan

Search