Memahami dan Menyikapi Ketidaksepahaman dengan Bijak

Memahami dan Menyikapi Ketidaksepahaman dengan Bijak

*) Oleh: Ferry Is Mirza DM

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua hal yang kita sampaikan kepada orang lain akan selalu diterima dan dipahami dengan baik. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa keterbatasan pemahaman manusia merupakan bagian dari ujian kesabaran yang harus dihadapi dengan penuh ketenangan dan kebijaksanaan.

Dalam Al-Qur’an, Allah telah menegaskan:

“Dan sungguh, telah berulang-ulang ditolak para rasul sebelum engkau, tetapi mereka sabar…”(QS. Al-An’am: 34)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa bahkan para rasul pun mengalami penolakan dalam menyampaikan kebenaran, namun mereka tetap bersabar dan terus berdakwah dengan cara yang baik.

Oleh karena itu, ketika nasihat atau ajakan kita tidak diterima, hendaknya kita tidak langsung berputus asa atau bersikap kasar. Sebaliknya, kita harus tetap menjaga sikap lemah lembut sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu.”(QS. Ali Imran: 159)

Kelembutan dalam berdakwah dan berkomunikasi adalah kunci dalam menjaga hubungan baik dengan sesama. Jika nasihat yang kita berikan tidak diterima, kita sebaiknya tetap berprasangka baik (husnudzon) dan terus mendoakan mereka agar diberikan hidayah oleh Allah.

Hasan Al-Bashri pernah mengingatkan bahwa kelembutan (rifq) merupakan faktor penting dalam menjaga persatuan. Dalam kehidupan ini, hanya sedikit orang yang tetap istiqamah di tengah arus kesesatan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga menegaskan dalam sabdanya:

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut, mencintai kelembutan dalam segala urusan.”(HR. Bukhari)

Dari sini kita bisa memahami bahwa sikap keras hanya akan melahirkan permusuhan, sementara kelembutan dapat menyatukan hati yang berbeda.

Oleh karena itu, Ahlus Sunnah harus menjadi teladan dalam bersikap tawadhu’ (rendah hati) dan menghindari sifat ta’ashub (fanatisme buta) yang dapat merusak persaudaraan.

Menjalani Masa Tua dengan Kemuliaan

Setiap manusia akan sampai pada masa tua, suatu fase di mana kehidupan dunia sudah hampir mencapai akhirnya. Masa tua yang penuh keberkahan adalah ketika seseorang lebih mengutamakan akhirat dibanding urusan duniawi serta senantiasa memetik hasil dari amal ibadah yang telah dilakukan sepanjang hidupnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya.”(QS. Al-Fajr: 27-28)

Martabat seseorang di usia senja tercermin dalam beberapa hal, di antaranya:

  • Mensyukuri nikmat kesehatan yang masih diberikan oleh Allah,
  • Bersabar dalam menghadapi kelemahan fisik dan keterbatasan kemampuan,
  • Berbagi kebaikan dengan harta dan ilmu yang dimiliki,
  • Menjaga lisan dari perbuatan sia-sia seperti ghibah dan perkataan yang tidak bermanfaat.

Dengan memahami nilai-nilai ini, seseorang dapat menjalani masa tua dengan penuh keberkahan dan menjadi pribadi yang tetap bermanfaat bagi orang lain.

Salah satu ibadah yang memiliki keutamaan besar dalam Islam adalah salat malam (qiyamullail). Ibadah ini tidak hanya mendekatkan seorang hamba kepada Allah, tetapi juga menjadi sarana untuk meraih derajat mukhlishin (orang-orang yang ikhlas) di sisi-Nya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

“Sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam.”(HR. Muslim)

Di keheningan malam, seorang hamba memiliki kesempatan untuk lebih khusyuk dalam beribadah, memohon ampunan, meminta kekuatan, serta mengharap kemuliaan di hadapan Allah.

Salat malam dapat dimulai dengan dua rakaat yang ringan, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an secara perlahan, dan menjadikan waktu tersebut sebagai momen muhasabah (evaluasi diri).

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Mereka sedikit tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka memohon ampunan.”(QS. Adz-Dzariyat: 17-18)

Firman Allah ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meraih kemuliaan adalah mereka yang rela mengorbankan sebagian waktu tidurnya untuk beribadah kepada Allah.

Oleh karena itu, mari manfaatkan waktu yang tersisa dalam hidup ini untuk memperbanyak sujud, menjaga ukhuwah Islamiyah, dan menjadi pribadi yang memberikan manfaat bagi sesama hingga akhir hayat.

Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan ridha dan keberkahan dari Allah. Aamiin. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *