Jajanan kaki lima di berbagai kota di Indonesia semakin beragam. Tidak hanya jajanan khas Tanah Air, tetapi juga banyak jajanan luar negeri yang dikenal sebagai Street Food, baik dari Korea, Jepang, dan lain-lain.
Banyaknya jajanan asing ini membuat masyarakat mulai mempertanyakan, apakah jajanan tersebut terjamin kehalalannya karena tidak melalui proses perizinan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) serta labeling halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI.
Makanan Jepang yang sangat populer di Indonesia di antaranya adalah Takoyaki, yakni makanan dengan bahan dasar tepung terigu yang dibentuk bulat dengan wajan khusus. Saat disajikan ditaburi katsuobushi, parutan ikan kering berwarna cokelat, ditambah dengan mayones serta saus okonomiyaki yang memiliki rasa manis khas dan bertekstur sedikit lengket.
Contoh lain adalah Mochi, kue berbahan utama beras ketan yang kemudian ditumbuk hingga lengket dan lembut. Bentuknya bulat diisi adonan kacang. Biasanya jajanan ini disantap saat perayaan tahun baru Jepang atau beberapa acara tradisional lainnya. Juga ada Onigiri dengan bahan dasar berupa nasi yang dicampur dengan berbagai macam daging cincang, mulai dari ayam, sapi, hingga tuna.
Berbagai makanan khas Jepang, sering menggunakan Mirin, suatu minyak bumbu yang merupakan rahasia di balik kelezatan hidangan Jepang. Mirin adalah bumbu cair khas Jepang yang mempunyai rasa manis serta aroma khas. Masakan seperti teriyaki ataupun ikan bakar Jepang, ada Mirin di dalamnya. Mirin dibuat dari beras ketan, ragi beras, alkohol hasil fermentasi, dan gula, melalui proses fermentasi 40 hingga 60 hari yang menghasilkan kadar alkohol 12,5 – 14,5 persen. Mirin biasanya dibuat secara tradisional dan menjadi warisan leluhur Jepang.
Fatwa Muhammadiyah Soal Mirin
Masalahnya, apakah Mirin halal dikonsumsi oleh umat Islam? Mengutip laman resmi Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdīd Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan Mirin. Lembaga ini menggunakan pendekatan fiqh al-aqallīyāt (fikih minoritas) dalam menetapkan hukum, yaitu fikih yang dirancang untuk menjawab kebutuhan umat Islam yang hidup sebagai minoritas di negara non-muslim.
Prinsip utama dari pendekatan ini adalah memberi kemudahan tanpa keluar dari koridor syar’at, menjaga identitas Islam sembari berintegrasi dengan masyarakat lokal, serta mempertimbangkan perubahan zaman dan konteks setempat.
Dalam pengkajiannya, Majelis Tarjih menerapkan sejumlah kaidah fikih. Antara lain, al-masyaqqah tajlib al-taysīr (kesulitan melahirkan kemudahan), al-ḥukm ‘ala al-shay’ far‘un ‘an taṣawwurihi (hukum bergantung pada pemahaman yang tepat terhadap objeknya), serta al-umūr bi-maqāṣidihā (hukum mengikuti niat penggunaannya).
Selain itu, Mirin dipandang melalui kebutuhan kuliner masyarakat Jepang yang bersifat mengakar (al-ḥājah qad tanzilu manzilat al-ḍarūrah), serta dikaitkan dengan adat yang berlaku (al-‘ādah muḥakkamah), serupa dengan posisi tape di Indonesia yang mengandung alkohol rendah tetapi tidak dipandang sebagai khamr.
Pertimbangan lain yang digunakan adalah konsep istiḥālah (transformasi zat), di mana pemanasan saat memasak menyebabkan alkohol dalam Mirin menguap sehingga sifat memabukkannya hilang.
Majelis Tarjih juga mengacu pada pendapat ulama yang menyatakan alkohol tidak najis secara zat, melainkan hanya najis jika digunakan sebagai khamr. Pandangan ini selaras dengan fatwa European Council for Fatwa and Research (ECFR), serta fatwa Majelis Tarjih tahun 2013.
Berdasarkan pengkajian halaqah pada Januari 2025 dan sidang tim fatwa pada 19 September 2025, Majelis Tarjih Muhamadiyah menetapkan tiga poin hukum:
- Penggunaan Mirin sebagai bumbu masakan diperbolehkan (mubāḥ) bagi muslim di Jepang, dengan syarat dimasak hingga alkoholnya menguap, sehingga tidak lagi memabukkan. Mirin dalam konteks ini tidak dianggap najis.
- Meminum Mirin secara langsung atau menggunakannya tanpa dimasak tetap dihukumi haram karena berpotensi memabukkan.
- Fatwa ini berlaku khusus di Jepang. Untuk konteks Indonesia, Mirin tidak diperlukan sehingga penggunaannya tidak dibolehkan, demi menutup peluang penyalahgunaan.
Keputusan ini, menurut Majelis Tarjih, mencerminkan upaya memberikan solusi yang relevan bagi muslim minoritas di Jepang dengan tetap menjaga syari’at, memperhatikan budaya setempat, serta memastikan identitas keislaman tetap terjaga.
Sementara itu, Ketua Halal Center Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr. Puspita Handayani mengatakan, saat ini sudah banyak beredar Mirin yang sudah dimodifikasi dengan menghilangkan unsur non-halal di dalamnya, sehingga Mirin tersebut sudah halal tanpa ada keragu-raguan.
Dr.Puspita Handayani juga memberikan rekomendasi beberapa jenis Mirin yang halal, yakni:
1. Kikkoman Mirin Halal 250 ml — Saus manis khas masakan Jepang yang menggantikan mirin, sudah bersertifikat halal MUI. dari Dynamic Equo Distribution
2. Kikkoman Mirin Halal 300 ml — versi lain dengan ukuran yang lebih besar.
3. Kikkoman Mirin Halal Botol 300 g — kemasan alternatif.
4. Kikkoman Cuka Sushi Manis (Mirin) Halal — bisa digunakan sebagai pengganti mirin dalam masakan Jepang.(*/tim)
