Menata Hidup di Puncak Usia

*) Oleh : Ferry Is Mirza DM
www.majelistabligh.id -

Usia 40 tahun bukan lagi waktu untuk sibuk bermain TikTok, gemar mengunggah foto selfie, hobi nongkrong tiada arah, menonton drama Korea tanpa henti, atau sekadar mendengarkan musik dan berjoget gemoy tanpa makna.

Masa itu seharusnya menjadi titik balik bagi setiap insan untuk mulai memaknai hidup lebih dalam, bukan sekadar menikmati kesenangan dunia yang fana.

Di usia ini, seseorang telah memasuki fase kehidupan yang disebut sebagai puncak kedewasaan. Dari segi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual, usia 40 adalah masa kematangan dan kebijaksanaan.

Inilah masa di mana seseorang tidak lagi disebut muda, tetapi juga belum masuk usia senja. Masa ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki arah hidup.

Sebagaimana para ulama terdahulu menjelaskan, usia 40 adalah fase kritis dalam perjalanan hidup manusia.

Maka barang siapa yang telah mencapai usia ini, hendaknya ia memperbarui tobatnya, kembali kepada Allah dengan penuh kesungguhan, meninggalkan kejahilan masa muda, serta menata hidup dengan lebih hati-hati dan penuh perenungan.

Orang yang bijak akan memandang segala sesuatu dengan hikmah. Dia melihat uban sebagai pengingat akan datangnya kematian, bukan sekadar perubahan fisik.

Dia mulai meneguhkan tujuan hidupnya, memperbanyak rasa syukur, memperdalam ilmu agama, dan menjaga lisan serta perilakunya dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Jika selama masa mudanya seseorang jauh dari agama, maka usia 40 tahun adalah waktu yang tepat untuk kembali mendekat.

Menutup aurat, rajin menghadiri kajian, memperbaiki salat, memperbanyak amal saleh, dan menjaga pandangan serta syahwat adalah tanda-tanda kebangkitan spiritual yang sejati.

Namun, jika seseorang telah berusia 40 tahun namun tidak juga menunjukkan ketertarikan terhadap agama, bahkan tetap larut dalam maksiat, hal itu bisa menjadi pertanda buruk tentang akhir kehidupannya.

Sebab seperti yang dikatakan oleh Ibrahim al-Nakha’i rahimahullah, “Jika seseorang telah mencapai usia 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu, maka ia tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya.”

Seseorang yang masih gemar meninggalkan salat, berzina, membuka aurat, mengumbar kemaksiatan, mabuk, atau melakukan dosa besar lainnya di usia 40 tahun, kemungkinan besar akan sangat sulit keluar dari kebiasaan buruk tersebut.

Padahal, waktu tidak pernah menunggu. Setiap detik berlalu adalah satu langkah menuju akhir kehidupan.

Kini bukan saatnya lagi mengejar karier dan kekayaan semata, atau sibuk membangun “masa depan” duniawi.

Sebaliknya, ini adalah waktu untuk memikirkan nasib di akhirat. Berapa banyak amal saleh yang telah kita lakukan? Berapa banyak keburukan yang belum kita tinggalkan?

Allah Ta’ala berfirman:

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.”
(QS. Asy-Syuraa: 20)

Ayat ini menjadi peringatan keras bagi mereka yang mengerjakan amal hanya untuk tujuan duniawi, seperti mencari pujian, kekayaan, atau balasan materi. Padahal, amal yang tidak dilandasi keikhlasan kepada Allah akan sia-sia di akhirat kelak.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda:

“Celakalah hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah. Jika diberi, dia pun ridha. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridha. Dia akan celaka dan binasa.”
(HR. Bukhari, no. 2886)

Qathifah dan khamishah adalah sejenis pakaian mewah. Nabi menyebut mereka sebagai “hamba dinar dan dirham”, karena hidupnya hanya terobsesi pada materi.

Dia beramal bukan untuk meraih ridha Allah, melainkan untuk kepentingan dunia. Maka celaka dan binasalah orang-orang seperti itu.

Sebaliknya, orang yang benar-benar mengharapkan wajah Allah dalam amalnya, merekalah yang disebut sebagai ‘abdullah — hamba Allah yang sejati.

Saudaraku, mari kita gunakan sisa umur yang ada untuk memperbaiki apa yang telah berlalu. Jadikan usia 40 sebagai momentum untuk meninggalkan ambisi duniawi yang sempit, dan mulai fokus menyiapkan bekal pulang ke negeri abadi. Sebab, saat ruh telah sampai di tenggorokan, penyesalan takkan lagi berguna.

Semoga Allah memberikan kita hidayah untuk memperbaiki diri sebelum terlambat, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa memperbaiki niat, amal, dan hati demi kehidupan akhirat yang lebih baik. (*)

Tinggalkan Balasan

Search