Deretan mobil terparkir rapi di Jalan Citarum dan Jalan Porong. Sepeda motor juga tertata di tempatnya. Kedua jalan ini adalah akses utama menuju Masjid Al-Falah di Jalan Raya Darmo, Surabaya.
Setiap hari, terutama saat waktu salat, kawasan ini selalu ramai. Masjid Al-Falah menjadi pusat kegiatan keislaman di Surabaya. Bukan hanya warga sekitar, musafir dan pekerja dari berbagai penjuru kota juga singgah untuk beribadah.
Suasana semakin padat menjelang salat Jumat atau saat ada kajian. Pedagang kaki lima ikut meramaikan. Mereka menjajakan makanan, minuman, dan perlengkapan ibadah. Meski kendaraan banyak, lalu lintas tetap tertib berkat petugas parkir dan relawan masjid.
Jumat (21/3/2025) pukul 01.05 WIB, suasana Masjid Al-Falah terlihat sibuk. Jamaah hilir mudik. Pedagang makanan dikerumuni pembeli. Hiruk-pikuk ini sudah biasa, apalagi saat Ramadan.
Malam itu, saya datang untuk beritikaf di malam 21 Ramadan. Hampir setiap tahun, saya memilih masjid ini. Meski tidak bertahan hingga akhir, Masjid Al-Falah selalu menjadi tempat favorit untuk menghabiskan sepertiga malam terakhir.
Tahun lalu, saya sempat kecele. Saya datang di malam 21 Ramadan, tetapi masjid sepi. Ternyata, Masjid Al-Falah mengikuti keputusan pemerintah, sedangkan saya mengikuti kalender Muhammadiyah yang memulai puasa lebih awal.
Datang ke masjid ini juga membangkitkan kenangan masa kecil. Dulu, saya sering salat di sini. Rumah saya di Jalan Darmo Kali hanya berjarak 350 meter. Saya bisa berjalan kaki ke masjid.
Di depan pintu masjid, orang-orang duduk santai. Sebagian berbincang, yang lain konsultasi zakat, infak, dan sedekah. Suasana malam begitu hidup.

***
Saya menuju tempat wudu di sisi selatan. Setelah renovasi, masjid ini tampak lebih mewah. Lantainya bersih. Toilet terjaga. Fasilitasnya ramah lansia dan difabel. Yang menarik, masjid menerapkan kebijakan hemat air. Aliran air dari keran tidak deras, tapi cukup.
Saya menyesuaikan aliran air untuk berwudu. Segarnya membasuh wajah dan tangan. Pengurus masjid memang mengajak jamaah untuk bijak menggunakan air. Pengingat pentingnya menjaga sumber daya.
Selesai berwudu, saya masuk ke ruang utama. Karpet lembut. Lampu berpendar hangat. Suasana tenang dan khusyuk. Saya memilih saf tengah. Masjid sudah penuh jamaah.
Di dalam, dua TV plasma besar menampilkan informasi. Jadwal salat, penceramah, konsultasi agama dan psikologi, hingga penggalangan dana sosial terpampang jelas. TV juga menayangkan kajian keislaman secara langsung. Jamaah di luar tetap bisa menyimak ceramah.
Di sudut masjid, rak-rak berisi Al-Qur’an dan buku keislaman. Ada juga mushaf digital di tablet yang disediakan pengurus. Saat i’tikaf, jamaah mendapat pembinaan spiritual, tadarus, dan muhasabah. Masjid juga menyediakan sesi konsultasi dengan ustaz tentang agama dan kehidupan sehari-hari.
Jamaah yang ingin i’tikaf 10 hari penuh bisa melapor ke petugas di meja donasi. Mereka yang terdaftar mendapat makan sahur, kopi, teh, dan kurma.
Masjid Al-Falah menggelar Qiyamul Lail sebelas rakaat. Dua rakaat salam, ditutup tiga rakaat witir. Imamnya para hafiz dari luar negeri. Salat dimulai pukul 01.30, setiap dua rakaat berlangsung 15 menit. Total rangkaian ibadah selesai dalam satu setengah jam.
Saat sahur tiba, petugas membagikan kupon. Jamaah menukarnya dengan hidangan sahur yang lezat. Menunya bervariasi: rawon, soto, nasi ramas, dan lainnya. Semua dipesan dari pelaku usaha sekitar masjid.
Malam terus berlanjut. Masjid Al-Falah tetap hidup. Di sini, ibadah dan kebersamaan terasa begitu dekat.

***
Di antara sujud, saya merasakan ketenangan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Seolah seluruh beban pikiran yang menggelayuti jiwa luruh begitu saja di hadapan-Nya.
Udara dingin yang semula menggigit kini justru terasa sebagai kesejukan yang menyusup ke dalam hati, membawa ketenteraman yang sulit dijelaskan. Keheningan malam menyelimuti Masjid Al-Falah, menjadikannya tempat paling damai yang pernah saya singgahi.
Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah bagi saya, tetapi juga gudang nostalgia yang menyimpan begitu banyak kenangan. Dari langkah pertama saya memasuki pelataran, aroma masa kecil kembali menyeruak, seakan waktu bergulir mundur.
Saya teringat suara azan yang merdu dilantunkan oleh Haji Syukur dan Haji Ali, juga suara merdu Ustaz Rifai Yasin, seorang Minang yang menjadi imam di Masjid Al-Falah Surabaya.
Masjid ini adalah saksi perjalanan spiritual saya sejak kecil, tempat di mana saya mengenal makna doa, makna kebersamaan, dan makna berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Kini, di malam ke-21 Ramadan, saya kembali duduk bersila di salah satu sudut masjid yang terasa begitu akrab. Lampu-lampu redup menerangi ruangan dengan cahaya yang hangat, menciptakan atmosfer yang mengundang perenungan.
Di antara mereka yang khusyuk dalam zikir dan tilawah, saya tenggelam dalam perjalanan batin yang mendalam. Pikiran saya melayang ke berbagai episode kehidupan yang telah saya lalui—suka, duka, pencapaian, kegagalan, serta harapan-harapan yang mungkin terlupakan.
Di keheningan i’tikaf ini, saya menemukan kedamaian yang selama ini sering tersisih di tengah hiruk-pikuk kesibukan dunia.
Ramadan memang selalu menghadirkan pengalaman spiritual yang unik. Setiap tahunnya, saya kembali merasakan betapa bulan ini menjadi pengingat untuk kembali mendekat, kembali menata hati, dan kembali menyusun langkah-langkah hidup yang lebih bermakna.
Masjid Al-Falah tetap menjadi bagian penting dari perjalanan itu—tempat di mana saya menemukan kembali diri saya yang kadang tersesat dalam kesibukan duniawi.
Malam semakin larut, tetapi semangat ibadah justru semakin menggelora. Doa-doa mengalir deras dari hati, memenuhi ruang masjid dengan bisikan-bisikan harapan. Ada permohonan yang selama ini mungkin terlupakan, ada keluh kesah yang akhirnya menemukan jalan untuk disampaikan.
Di luar, angin malam berembus lembut, menyapu pelataran masjid. Saya menatap langit yang bertabur bintang dan tersenyum. Ada harapan yang kembali tumbuh. Ada ketenangan yang kembali hadir.
Ramadan memang selalu penuh keajaiban, Dan, malam ini, di Masjid Al-Falah, saya merasakannya dengan begitu nyata. (*)