Menjadi Pemburu Surga: Jalan Terjal Menuju Keabadian

Menjadi Pemburu Surga: Jalan Terjal Menuju Keabadian
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana

Allah ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ، وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر

“Telah Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih kenikmatan (surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pula terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia” (HR. Al Bukhari no.7498).

Hadis ini menunjukkan bahwa Allah telah menyiapkan surga sebagai kenikmatan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh. Surga adalah tempat di akhirat yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.

Beberapa kenikmatan di surga, di antaranya: Melihat wajah Allah, Bertemu dengan bidadari yang cantik, Menikmati makanan dan minuman yang lezat, Tinggal di istana yang indah, Mendapatkan kebahagiaan yang abadi.

Untuk mendapatkan surga membutuhkan upaya yang tidak biasa. Perlu kesungguhan dan kegigihan. Allah Ta’ala berfirman:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kalian mengira akan masuk surga sementara Allah belum mengetahui siapa yang bersungguh sungguh diantara kalian dan siapa yang bersabar.” (Ali Imron:142)

Sebuah renungan untuk kita bersama. Sejauh apakah kesungguhan kita untuk mencari surga. Karena surga dikelilingi oleh sesuatu yang berat untuk hawa nafsu. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim).

Menaati Allah dan menjauhi kemaksiatan amat tidak disukai oleh hawa nafsu dan syahwat. Maka Kita harus memberikan semua kesungguhan untuk dapat istikomah di atas ketaatan. Untuk dapat istikamah meninggalkan kemaksiatan sampai akhir hayat.

Ujian pasti menerpa setiap orang yang mengatakan, “Aku beriman.” Sebagaimana firmanNya:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia mengira akan dibiarkan untuk mengatakan, “Kami beriman.” Sementara mereka tidak diberikan ujian?” Sesungguhnya kami telah menguji orang orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui siapa yang jujur keimanannya dan siapa yang dusta.” (Al Ankabut: 2-3)

Ujian berupa perintah dan larangan. Ujian juga dapat berupa kesusahan dan kesenangan. Dengan printah dan larangan akan terlihat siapa yang tunduk dan patuh dan siapa yang mengikuti hawa nafsunya.

Dengan kesusahan akan terlihat siapa yang bersabar dan siapa yang tidak. Dan dengan kesenangan akan terlihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur.

Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis menjelaskan kriteria-kriteria dari hamba yang saleh, yakni penghuni surga dengan jalan yang lancar. Berikut adalah pemaparan tentang tiga syarat itu.

Sebarkan Salam

Pertama, menyebarluaskan salam (ifsya’us salam). Salam adalah doa yang diucapkan seorang Muslim dengan harapan, orang yang dijumpainya memperoleh kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan.

Ibnu Mas’ud yang berkata berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda, “As-salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah SWT dan diperintahkan untuk disebarluaskan agar orang yang menerimanya mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dari Zat as-Salam (Yang Maha Sejahtera).”

Jangan meremehkan salam. Rasulullah saw pernah menegur seseorang saat berkunjung ke rumah tanpa mengucapkan salam. “Kembalilah, dan ucapkanlah salam terlebih dahulu dan kemudian tanyakan, apa boleh masuk ke dalam rumah.” (HR at-Tirmizi).

Tentu, salam dapat dimaknai tidak hanya sebagai ucapan. Ia juga berwujud sikap dan perbuatan yang membawa kepada kedamaian, kerahmatan, dan keberkahan.

Banyak Bederma

Kedua, memberi makan kepada orang yang memerlukan. Dalam hadis Nabi SAW, istilahnya ialah ith’amuth tha’am. Sasaran derma itu ialah kaum fakir dan miskin (fuqara wal masakin).

Sebenarnya, tidak hanya hadis tentang kriteria mulus ke surga. Rasulullah saw juga kerap bersabda tentang keutamaan menyediakan pangan kepada mereka yang kelaparan. “Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah orang yang memberi makan.” (HR Thabrani).

Seorang lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad saw: “Perbuatan apa yang terbaik menurut Islam?” Beliau menjawab, “Kamu memberi makan kepada orang lain.” (HR Bukhari-Muslim).

Pengertian bederma itu luas. Dalam arti, makanan atau minuman yang diberi tidak harus berasal dari dirinya sendiri. Bisa saja, sekadar menyalurkan bantuan pangan dari Muslim lain. “Api neraka merasa takut walaupun dengan sebiji kurma (yang Muslimin berikan untuk orang yang lapar).” (HR Bukhari).

Gemar Tahajud

Ketiga, salat malam. Atau, dalam redaksi hadis Nabi Muhammad saw ini: shalatul lail wannaasu niyamun, salat di saat orang lain sedang lelap tidur.’ Dalam perspektif fikih, salah satu sunah ialah salat tahajud.

Momen ibadah itu adalah saat untuk berkomunikasi langsung kepada Allah. Sesudah shalat tahajud, sempatkanlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, dan umat Islam seluruhnya.

Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Janganlah kamu meninggalkan salat malam (qiyamul lail) karena Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Bahkan, apabila beliau sedang sakit atau kepayahan, beliau shalat dengan duduk.” (HR Abu Dawud). (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *