Mental Ambtenaar: Jika Bisa Dipersulit, Mengapa Harus Dipermudah

Ilustrasi: ASN salah satu kementerian sedang upacara. (panrb)
*) Oleh : Chusnun Hadi
Editor majelistabligh.id
www.majelistabligh.id -

Pada zaman kolonial, kaum ambtenaar dengan gagah mengenakan setelan jas putih-putih, topi bundar dari bahan kaku, naik sepeda “kebo” dan kumis melintir di ujungnya. Kaum ambtenaar adalah sebutan pegawai negeri pada zaman itu, posisi impian dari kebanyakan anak-anak pribumi, karena kehidupannya terjamin.

Mental ambtenaar waktu itu adalah pekerjaan yang sangat birokratis, sok sibuk, menunda-nunda pekerjaan, selalu minta dihormati, bukan melayani tetapi minta dilayani. Urusan yang mudah malah dipersulit, sedangkan urusan sulit, semakin dipersulit. Uang pelicin, uang rokok, atau uang sogok menjadi suatu yang biasa.

Tetapi tidak ada yang abadi, kehidupan kaum ambtenaar mulai terusik, karena pada tahun 1929 terjadi resesi ekonomi khususnya perdagangan kaum Belanda yang ada di Indonesia. Perdagangan macet, banyak perusahaan onderneming atau perkebunan skala besar tutup. Resesi ekonomi ini merupakan dampak Maleise (depresi besar) dari Eropa.

Saat itu banyak pegawai yang diberhentikan, hingga puncaknya pada 26 Desember 1932, ribuan ambtenaar melakukan demonstrasi di Batavia. Mereka menuntut kenaikkan gaji dan penurunan harga. Pemerintah Belanda akhirnya turun tangan. Kekuasaan VOC di negeri jajahan mulai dipangkas. Belanda kembali melibatkan kaum bumiputra sebagai aparatur pemerintah, namanya menjadi Binnenlandsche Bestuur (BB).

Langkah ini diambil oleh Daendels, yang ditugaskan membenahi birokrasi di tanah jajahan. Daendels melakukan sentralisasi kekuasaan, sekaligus membentuk tiga sistem kekuasaan, yakni Europeesch Bestuur, Inlandsch Bestuur, dan Vreemde Oosterlingen. Ketiga sistem itu dikendalikan dalam satu atap dalam Binnenlandsche Bestuur (BB).

Agar kaum pribumi bisa bersaing menjadi pejabat pemerintah dan bisa terpilih masuk dalam Inlandsch Bestuur, Pemerintah Kolonial mendirikan sekolah-sekolah yang khusus membentuk mental pegawai negeri kolonial. Pendirian Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), misalnya, adalah sekolah khusus bagi calon pegawai bumiputra pada zaman Hindia Belanda. Sekolah ini menerapkan sistem ikatan dinas, setelah lulus mereka dipekerjakan sebagai pegawai negeri kolonial.

Meskipun demikian, ada kebijakan lucu dalam sistem jenjang karier di zaman kolonial saat itu, yakni bumiputra yang memiliki agama kuat, justru jenjang kariernya seret. Tetapi bagi kaum sekuler, jenjang kariernya moncer.

***

Setiap 29 November diperingati sebagai Hari Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Pada tahun ini, adalah HUT KORPRI ke-54. KORPRI adalah organisasi yang anggotanya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil, pegawai BUMN, BUMD serta anak perusahaan.

Tujuan dibentuknya KORPRI adalah agar ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI. Sayangnya, pada tahun 1975 ada upaya menjadikan KORPRI sebagai kekuatan politik.

Berdasarkan UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi KORPRI dalam memperkuat barisan partai. Birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional KORPRI, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.

Memasuki Era Reformasi, konsep monoloyalitas KORPRI mulai ditentang. Melalui berbagai pendapat dan persidangan di DPR RI, akhirnya disepakati bahwa KORPRI harus netral secara politik. Akhirnya KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik. Para Kepala Negara setelah Era Reformasi mendorong tekad KORPRI untuk senantiasa netral dan berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu berpegang teguh pada profesionalisme.

Saat ini, pegawai pemerintahan disebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Aparatur Sipil Negara terdiri atas dua kelompok, yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sehingga ASN belum tentu PNS, akan tetapi PNS sudah pasti ASN. Keduanya sama-sama berstatus ASN yang merujuk pada penjelasan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Dari perjalanan sejak zaman Belanda hingga saat ini, pada dasarnya mulai dari ambtenaar, Binnenlandsche Bestuur, PNS, ASN maupun PPPK, adalah pegawai pemerintah yang bertugas melakukan pelayanan pada masyarakat.

Peringatan Hari KORPRI tidak sekedar mengingatkan kembali bahwa KORPRI bukan lagi sebagai organisasi yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Tetapi yang lebih penting adalah mengingatkan bahwa ASN adalah pelayan, bukan dilayani. Dan di hati para pelayan, jangan sampai ada istilah “Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search