Mudik Bersih dari Mubazir dan Dosa

Mudik Bersih dari Mubazir dan Dosa

Tradisi mudik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perayaan Idulfitri di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, mudik hendaknya dilakukan tanpa mubazir dan tanpa dosa.

Hal ini mengemuka dalam diskusi #4 Majelistabligh.id yang diselenggarakan di Gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Jalan Kertomenanggal IV/1, Surabaya, pada Jumat (21/3/2025).

Diskusi bertajuk “Spiritualitas dan Refleksi Diri dalam Mudik” dan digelar secara hybrid ini, menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Ir. H. Tamhid Masyudi, Wakil Ketua PWM Jawa Timur, dan KH. Nadjih Ihsan, Ketua Divisi Pengembangan Mubaligh Majelis Tabligh PWM Jawa Timur. Acara ini dimoderatori oleh Munahar, SHI., MPd.I, Sekretaris Majelis Tabligh PWM Jawa Timur.

“Mudik merupakan tradisi yang memiliki banyak nilai positif, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun spiritual. Namun, penting bagi umat Islam untuk menjalaninya dengan bijak, menghindari perilaku mubazir, dan menjaga nilai-nilai agama,” kata dia.

Dengan demikian, terang Tamhid, mudik tidak hanya menjadi perjalanan fisik menuju kampung halaman, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat hubungan dengan sesama.

Dia mengimbau agar umat Islam melaksanakan mudik dengan niat yang benar, memanfaatkan momen untuk kebaikan, serta menghindari perilaku yang dapat menodai makna suci Idulfitri.

“Mudik yang dilakukan dengan kesadaran dan nilai-nilai Islam akan membawa berkah bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas,” tegasnya.

Tamhid menjelaskan bahwa tradisi mudik telah ada sejak masa kolonial. Pada masa itu, mudik banyak dilakukan oleh para saudagar, pekerja laut, nelayan, dan pengusaha pelayaran yang kembali ke kampung halamannya setelah merantau.

“Pada awal abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda melakukan pemerataan sektor perkebunan, pertanian, dan industri, yang menyebabkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar,” katanya.

Sebagai contoh, sebut dia, di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, terdapat satu desa yang dihuni oleh warga Muhammadiyah yang berasal dari Bantul dan Kulon Progo. Mereka melakukan perpindahan atau “bedol desa” pada akhir abad ke-18.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, program transmigrasi menjadi faktor utama perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Sumatra dan daerah lainnya. Akibatnya, banyak kampung di Lampung dan Sumatra Utara yang memiliki nama-nama khas Jawa, mencerminkan asal-usul penduduknya.

“Tradisi mudik pun terus berlanjut sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat yang ingin kembali ke kampung halaman dan bertemu sanak keluarga.”

Tamhid juga menyoroti bahwa konsep mudik tidak hanya ada di Indonesia. Dalam sejarah Islam, kaum Yasrib (Madinah) juga mengalami perpindahan dan memiliki perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW untuk hidup berdampingan secara harmonis dalam Piagam Madinah.

Sementara itu, KH. Nadjih Ihsan menjelaskan bahwa dalam tradisi mudik terdapat kesempatan berharga untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di berbagai daerah. “Selain untuk bersilaturahmi, mudik juga menjadi momentum untuk sowan kepada orang tua,” ungkapnya.

Mudik erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Melayu yang memiliki budaya merantau. “Masyarakat Melayu memiliki kebiasaan merantau ke berbagai daerah dan akan kembali pulang di waktu-waktu tertentu. Hal ini semakin relevan dengan perkembangan industrialisasi di kota-kota besar yang menjadi magnet bagi para perantau, baik untuk bekerja maupun menempuh pendidikan tinggi,” lanjutnya.

KH. Nadjih Ihsan menuturkan bahwa terdapat beberapa tujuan utama mudik, di antaranya dorongan keagamaan yang telah menjadi budaya, ziarah kubur, rindu akan kampung halaman, dan bernostalgia di kampung halaman. Unjuk diri, termasuk menunjukkan kesuksesan di perantauan.

Selain itu, mudik juga memiliki berbagai manfaat, seperti menjalin silaturahmi dengan keluarga, sahabat, dan tetangga di kampung halaman; memberikan dampak ekonomi baik dalam bentuk uang maupun barang bagi keluarga dan masyarakat; menjaga tali persaudaraan dan persatuan; memberikan pengalaman kultural dan agama yang positif; serta menguatkan interaksi sosial dengan keluarga dan masyarakat.

Mudik Bersih dari Mubazir dan Dosa
Foto bersama usaia diskusi. foto: abdul wahab/majelistabligh.id

Nilai Spiritual dalam Tradisi Mudik

KH. Nadjih Ihsan menekankan bahwa dalam tradisi mudik terkandung nilai-nilai spiritual yang mendalam. Salah satunya adalah birrul walidain, yaitu berbakti kepada kedua orang tua.

“Mudik sering kali diiringi dengan sowan kepada orang tua, yang dalam Islam disebut birrul walidain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151-152, yang menegaskan pentingnya berbuat baik kepada orang tua,” paparnya.

Selain itu, tradisi mudik juga ditandai dengan silaturahmi, infak, dan sedekah. Pemudik kerap membawa uang cetakan baru untuk diberikan kepada anak-anak dan kaum duafa.

“Hal ini mengajarkan kita tentang hakikat kepemilikan, bahwa segala sesuatu sejatinya milik Allah SWT,” jelasnya, merujuk pada Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134 yang menekankan pentingnya berinfak di waktu lapang maupun sempit.

Ziarah kubur juga menjadi bagian dari tradisi mudik yang memiliki makna spiritual. “Ziarah kubur sangat dianjurkan dalam Islam, sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa ziarah kubur mengingatkan kita untuk berbuat kebaikan,” ujar Kiai Nadjih Ihsan.

Lebih lanjut, mudik juga menjadi momen bagi pemudik untuk mengingat asal-usul dan perjalanan hidupnya.

“Dulu mungkin seseorang bukan siapa-siapa, namun dengan berjalannya waktu, Allah SWT meningkatkan status sosial dan ekonomi mereka. Ini mengajarkan kita untuk bersyukur kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Naml ayat 40: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya’,” terangnya.

KH. Nadjih Ihsan juga menyoroti tradisi ngelebur doso, yaitu meminta maaf kepada tetangga, sahabat, dan sesepuh kampung.

“Biasanya, tradisi ini dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah para sesepuh terlebih dahulu. Kalimat yang sering diucapkan dalam bahasa Jawa adalah ‘ngaturaken sedoyo kelepatan kulo, menawi lepat nyuwun pangapunten’, yang berarti ‘mohon maaf lahir dan batin’ dalam bahasa Indonesia,” jelasnya.

Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan diri dari dosa dan kesalahan terhadap sesama. “Mudik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual untuk kembali kepada keluarga, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh agama,” pungkas KH. Nadjih Ihsan. (wh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *