Muhammadiyah: Jalan Tengah di Antara Islam Puritan dan Sekularisme Agama

Muhammadiyah: Jalan Tengah di Antara Islam Puritan dan Sekularisme Agama

Muhammadiyah sejak didirikan telah menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai landasan utama, tetapi tidak berhenti di situ. Organisasi ini mengusung tajdid, yang berarti pemurnian sekaligus pembaruan, untuk menjawab tantangan zaman.

Sebagai organisasi keagamaan Islam, Muhammadiyah tidak menerapkan ajaran agama secara kaku dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di sisi lain, Muhammadiyah juga tidak menjauhkan diri dari nilai-nilai agama, sehingga mengambil posisi moderat (wasathiyah).

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa sikap tengahan ini sudah menjadi bagian dari Muhammadiyah sejak masa Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Haedar menyebutkan bahwa Muhammadiyah memiliki ciri khas yang membedakannya dari organisasi keagamaan lain pada zamannya, dan karakteristik ini harus tetap dijaga.

“Dengan misi dakwah dan tajdid, Muhammadiyah telah mengarahkan dirinya untuk menyebarluaskan dan memajukan Islam,” ujar Haedar dalam kegiatan Ideopolitor Muhammadiyah Regional Sumatra 1 yang berlangsung di Deli Serdang pada Senin (20/1/2025).

Muhammadiyah tidak mendekati nash atau teks agama secara tekstual semata. Organisasi ini mengembangkan metode Manhaj Tarjih, yang dirumuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Pendekatan ini melibatkan tiga aspek utama:

Bayani (pemahaman berdasarkan teks Al-Qur’an dan Sunnah),
Burhani (pemahaman berdasarkan analisis logis dan kontekstual), dan
Irfani (pemahaman melalui intuisi dan kejernihan hati).

Pendekatan ini menjadikan Muhammadiyah berbeda dari gerakan Islam lain yang cenderung tekstual dan kaku dalam menempatkan agama dalam kehidupan.

“Kelompok seperti ini sering disebut sebagai Islam puritan. Haedar meminta para pimpinan Muhammadiyah untuk lebih memahami produk pemikiran Majelis Tarjih, termasuk Tafsir At-Tanwir yang saat ini sedang dirampungkan hingga juz sembilan,” jelas Haedar.

Selain menolak pendekatan Islam puritan yang terlalu rigid dan formalistik, Muhammadiyah juga menolak pandangan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Haedar mencontohkan pandangan Nurcholis Madjid (Cak Nur), yang menyatakan bahwa semua manusia pada dasarnya beragama, sehingga tidak perlu mengajak mereka memeluk agama tertentu.

Menurut Haedar, pandangan seperti ini bisa jadi dipengaruhi oleh metode dakwah misionaris yang progresif.

“Namun, mubalig Muhammadiyah juga perlu memperbaiki cara dakwahnya agar lebih mengedepankan hikmah dan nasihat yang baik (bil hikmah wal mauizatil hasanah),” papar dia.

Penggunaan Cadar di Lingkungan Muhammadiyah

Haedar juga membahas perdebatan tentang penggunaan cadar di Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA).

Menurut keputusan Tarjih Muhammadiyah, wajah dan telapak tangan bukanlah aurat. Oleh karena itu, pemahaman yang utuh terhadap ajaran Muhammadiyah penting agar tidak terjebak dalam sikap yang puritan.

Sebagai organisasi yang mengusung misi dakwah dan pembaruan, Muhammadiyah terus berkomitmen untuk berada di jalan tengah, menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan kebutuhan zaman, tanpa terjebak pada ekstremisme agama maupun sekularisme. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *