Nepotisme, Antara Profesionalitas dan Balas Jasa

Kabinet Merah Putih usai dilantik. (ist)
*) Oleh : Chusnun Hadi
Editor majelistabligh.id
www.majelistabligh.id -

Saat menjabat Presiden Amerika Serikat (AS), John Fitzgerald Kennedy (JFK), memasukkan dua saudaranya menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Sebagian kecil warga AS mengkritik atas sikap nepotisme tersebut, tetapi sebagaian besar justru mendukung karena yang diangkat adalah pejabat yang profesional di bidangnya.

Dua saudara Kennedy yang dimasukkan dalam kabinet tersebut adalah adiknya, Robert Kennedy, sebagai jaksa agung sekaligus penasihat presiden. Juga Edward Moore Kennedy menjadi Senator Massachusetts sejak 1962. Kedua adik Presiden Kennedy yang berkuasa pada 20 Januari 1961 hingga 22 November 1963 itu dinilai adalah pejabat yang sangat profesional, dan memiliki pendidikan dan tingkat kecerdasan di atas rata-rata.

Nepotisme yang dilakukan Kennedy menjadi salah satu contoh bahwa kekuasaan politik sangat rentan terhadap sikap memberikan jabatan pada keluarga besar. Tetapi Kennedy membuktikan bahwa meski dalam lingkungan keluarga, profesionalitas saat mengangkat pejabat dalam kabinet menjadi paling utama. Robert Kennedy sangat piawai di bidang hukum, sedangkan Edward Moore Kennedy memiliki lobi politik yang luar biasa.

Dalam konteks Indonesia, istilah nepotisme sangat kental pada tahun 1998, dimana isu nepotisme digandengkan dengan korupsi dan kolusi. Isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi isu sentral yang digaungkan oleh aktivis mahasiswa untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto yang saat itu telah berkuasa selama 32 tahun.

Saat ini, nepotisme masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Kelompok yang setuju, beralasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk duduk di pemerintahan. Sedangkan kelompok yang menolak, menilai bahwa nepotisme berbahaya karena sangat rentan terhadap sikap melanggengkan kekuasaan, sekaligus perlindungan terhadap praktik korupsi. Yang pada akhirnya muncul istilah politik dinasti atau politik perkoncoan.

Jabatan Adalah Amanah

Saat seseorang diberikan suatu jabatan, pada dasarnya ia sedang memikul amanah yang sangat besar. Karena itu, jabatan harus diserahkan pada ahlinya, yang memiliki kemampuan di bidangnya, dan kompeten dalam menjalankan amanah tersebut. Jika menyerahkan suatu urusan, kepemimpinan, tugas, atau suatu masalah bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran atau kekacauan. Bahkan Rasulullah SAW menyebutnya sebagai amanah yang disia-siakan.

Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadisnya, yang artinya: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Salah seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, RasulNya dan kaum muslimin.” (Hadis Riwayat Al-Hakim).

Jadi kompetensi dan keahlian menjadi kunci yang sangat penting untuk memberikan amanah pada seseorang. Menyerahkan urusan selayaknya pada ahlinya berdasarkan kompetensi dan keilmuannya. Bukan atas dasar kolusi, nepotisme, balas jasa, atau bagi-bagi jabatan.

Praktik politik dinasti, perkoncoan, atau politik balas jasa bukanlah suatu yang “haram” dalam suatu kabinet pemerintahan, sepanjang dilandasi niat untuk bersama-sama menjalankan amanat dengan baik. Tentunya menempatkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat, sesuai dengan kompetensi, keilmuan dan kemampuannya. Tetapi jika semua itu dilandasi untuk melanggengkan kekuasaan atau sebagai upaya pengamanan tehadap praktik korupsi yang dilakukan, maka sesungguhnya sikap itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap suatu amanah. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search