Pakar Hukum UMSurabaya: Banjir Sumatra Akibat Ulah Eksploitatif Manusia

Satria Unggul Wicaksana
www.majelistabligh.id -

Bencana banjir bandang Sumatra yang terjadi di Provinsi Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, harus dilihat dari kacamata konsep no natural disaster. Kerusakan ekologis di wilayah ini diperparah oleh deforestasi besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit, aktivitas pertambangan, hingga alih fungsi lahan tanpa perhitungan ekologis.

Menurut Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, tragedi ini tidak bisa lagi dilabeli sebagai “bencana alam” semata. “Ini bukan peristiwa yang terjadi begitu saja. Ia adalah akumulasi krisis iklim global dan aktivitas manusia yang eksploitatif. Fenomena ini adalah alarm keras bahwa kerusakan lingkungan kita sudah mencapai tahap kritis,” kata Satria, Rabu (3/12/2025).

Industri ekstraktif yang berjalan masif selama bertahun-tahun, lanjutnya, telah memicu hilangnya tutupan hutan, merusak habitat, dan membuat wilayah semakin rentan terhadap banjir bandang dan tanah longsor.

Ia juga menyoroti kebijakan anggaran negara yang dianggap “ugal-ugalan”, terutama pengurangan Dana Tak Terduga (DTT) untuk penanggulangan bencana demi pembiayaan Proyek Strategis Nasional (PSN).  “Ini jelas bentuk kegagalan negara dalam melindungi keselamatan manusia dan ekosistem,” tegasnya.

Satria menilai bahwa negara tidak menjalankan amanah dalam memenuhi hak warga memperoleh lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin Pasal 28H UUD NRI 1945. Karena itu, ia menilai deforestasi yang diikuti izin bermasalah bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.

Selain itu, Satria menyayangkan tindakan kepolisian yang menangkap warga karena mengambil makanan dari sebuah minimarket di Sibolga. Ia menegaskan bahwa warga pada saat itu berada dalam kondisi darurat setelah banjir bandang yang terjadi pada 25 Oktober 2025 memutus akses dan menghambat pemenuhan kebutuhan dasar.

“Warga sedang berjuang untuk bertahan hidup. Situasi krisis harusnya menjadi pertimbangan utama aparat, bukan justifikasi untuk tindakan represif,” ucapnya.

Satria mendesak Presiden untuk segera menetapkan Status Darurat Bencana Nasional bagi wilayah Sumatra yang terdampak bencana. Menurutnya, hal ini penting agar pemerintah dapat menggerakkan sumber daya secara cepat dan terkoordinasi sesuai amanat UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Ia juga menyampaikan empat rekomendasi mendesak: Pertama, evaluasi total dan Penghentian Industri Ekstraktif Negara. Sementara seluruh aktivitas ekstraktif di kawasan ekologis genting. Seluruh izin di wilayah rawan banjir wajib dievaluasi, terutama yang berpotensi melanggar atau memanipulasi AMDAL.

Kedua, Kebijakan Publik yang Berbasis Sains dan Berkeadilan Sosial. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan, bukan narasi politis yang mereduksi skala bencana.

Ketiga, Pemulihan Sosial-Ekologis sebagai Prioritas Anggaran. Alokasi dana Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berisiko tinggi terhadap lingkungan perlu dialihkan untuk pemulihan pascabencana dan perlindungan hak-hak warga negara. Keempat, Penegakan Hukum yang Humanis di Situasi Darurat. Aparat diminta mengedepankan empati dan melindungi warga, bukan justru memperburuk trauma masyarakat dengan kriminalisasi.

Pada bagian akhir, Satria mendorong Kejaksaan RI dan KPK agar segera memproses dugaan tindak pidana korupsi dan kejahatan lingkungan yang terkait praktik perizinan deforestasi. “Fokus penegakan hukum harus diarahkan pada pelanggaran serius dalam pemberian izin, terutama yang mengabaikan atau memanipulasi AMDAL,” pungkasnya. (*/tim)

 

Tinggalkan Balasan

Search