Sejak merdeka dari Inggris tahun 1947, India dan Pakistan seperti dua saudara yang memilih jalan masing-masing — satu memilih sekularisme, satu lagi berdiri atas dasar agama Islam.
Tapi jalan itu tak pernah benar-benar terpisah. Sebaliknya, mereka justru terjerat dalam sejarah panjang konflik, terutama tentang satu wilayah kecil yang bernama Kashmir.
Semua bermula saat Partition—pembagian India oleh Inggris—membuat wilayah mayoritas Muslim seperti Pakistan lahir. Tapi Kashmir, yang mayoritas Muslim, malah memilih bergabung dengan India karena rajanya seorang Hindu.
Itulah api pertama. Perang pun pecah di tahun yang sama mereka merdeka. Sejak itu, konflik India–Pakistan bukan sekadar perbatasan. Ini soal identitas, sejarah, luka, dan harga diri nasional.
Hingga kini, empat perang besar sudah terjadi: 1947, 1965, 1971, dan 1999. Masing-masing meninggalkan jejak yang pahit.
Di tahun 1971, Pakistan bahkan kehilangan Pakistan Timur, yang kini menjadi Bangladesh. Di tahun 1999, perang Kargil kembali meletus di ketinggian pegunungan, hanya beberapa bulan setelah kedua negara resmi memiliki senjata nuklir.
Bayangkan: dua negara nuklir, saling membenci, dan tidak ada jaminan logika akan menang saat emosi sudah memimpin.
Dari sisi psikologi sosial, konflik ini adalah contoh trauma kolektif. Dua bangsa tumbuh dengan narasi saling curiga. Anak-anak belajar sejarah yang berbeda.
Di Pakistan, India dianggap musuh yang menindas Muslim. Di India, Pakistan dipandang sebagai sumber terorisme dan ancaman. Perlahan, luka ini mengeras jadi identitas.
Padahal Islam mengajarkan damai. Allah SWT berfirman:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah pula kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 61)
Sayangnya, politik tak selalu sejalan dengan nilai. Para pemimpin sering bicara perdamaian saat mikrofon menyala, tapi di balik layar, konflik tetap dipelihara—demi suara, demi pengaruh.
Mungkin yang paling menderita adalah rakyat Kashmir. Hidup dalam bayang-bayang senapan, suara ledakan, dan ketidakpastian. Mereka bukan hanya korban perang, tapi juga korban diamnya dunia. (*)
