*)Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pergolakan antara kelompok yang memurnikan penyembahan kepada hanya Allah dan kelompok yang mencampuradukkan dengan yang lain terus terjadi, tidak akan berhenti. Kalau para nabi dan rasul terus berupaya mengajak umatnya untuk menyembah hanya kepada-Nya, namun selalu ada gerombolan yang selalu ingin mengotorinya.
Upaya mengotori itu dengan mengajak sekelompok untuk tetap menyembah berhala-berhala yang dipandang memiliki kekuatan dan menopang kehidupannya. Berhala dipandang sebagai perantara untuk menyampaikan hajatnya kepada Allah karena dirinya merasa kotor dan penuh dosa. Meskipun argumennya lemah tetapi mereka tetap bertahan dan terus melakukan penyembahan kepada berhala yang tidak lain mereka ciptakan sendiri.
Pemurnian Penyembahan
Pemurnian dalam penyembahan bukan hanya meringankan beban hamba tetapi memudahkannya dalam menanggung beban syariat. Banyak tuhan membuat hamba harus melakukan beban penyembahan dari berbagai jenis berhala. Seorang budak yang memiliki satu majikan akan mudah untuk menjalankan sekian banyak kewajiban dari satu majikan. Hal ini berbeda ketika seorang budak memiliki beberapa majian dengan memerintahkan berbagai macam keinginan yang berbeda satu majikan dengan majikan yang lain.
Para nabi dan rasul berdakwah dan mengajak umatnya untuk memurnikan penyembahan kepada Allah. Para utusan Allah diperitahkan untuk memutus mata rantai berbagai macam tuhan, dan hanya memerintahkan untuk menyembah kepada-Nya saja. Para utusan Allah mengajak kepada umatnya untuk memurnikan penyembahan hanya kepada Allah dan menghilangkan penyembahan kepada selain-Nya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ
Artinya:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az-Zumar : 11)
Menyembah dan memurnikan Allah merupakan perintah, dan tidak meminta sesuai kepada yang lain. Allah memiliki kekuatan dan segala yang diperlukan, serta dibutuhkan manusia. Nabi pun menyatakan ketakutannya bila menyelisihi perintah-Nya. Memurnikan ibadah merupakan bentuk kepatuhan dan menyembah selain-Nya merupakan bentuk kedurhakaan. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagamana firman-Nya :
قُلۡ إِنِّيٓ أَخَافُ إِنۡ عَصَيۡتُ رَبِّي عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ
Artinya:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhan-ku”. (QS. Az-Zumar : 13)
Utusan Allah mengingatkan matnya untuk tidak melakukan penyimpangan dalam berdoa dan meminta kepada selain-Nya. Banyak manusia yang mengakui Allah sebagai Pencipta alam semesta, tetapi masih banyak manusia yang menengadahkan tangannya untuk bersyukur kepada matahari yang telah memberi kehidupan melalui sinarnya.
Tidak sedikit manusia yang meminta perlindungan kepada pohon-pohon besar, gunung, laut, serta bulan dan bintang karena dipandang telah menopang kehidupannyan. Berkat makhluk-makhluk yang dipandang lebih besar daripada dirinya memiliki kekuatan penuh atas baik tidaknya keberlangsungan hidupnya.
Berhala Sebagai Penghubung
Ketika datang ajakan rasul untuk memurnikan penyembahan tunggal hanya kepada Allah, maka salah satu reaksi muncul dengan menyatakan bahwa penyembahan berhala ini hanya sebagai perantara. Perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah. dalam pandangan mereka, Allah tidak bisa didekati secara langsung tetapi harus melalui perantara, yakni berhala-berhala ini.
Kalau meminta secara langsung, dirinya merasa kotor dan banyak dosa. Oleh karena itu, dengan adanya perantara berhala itu, diharapkan bisa mempercepat terkabulkannya harapan dan keinginannya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ
Artinya:
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az-Zumar : 3)
Mereka mengibaratkan Allah seperti seorang raja. Raja membutuhkan para Menteri untuk bisa menampung berbagai keinginan dan hajat rakyatnya yang amat banyak dan beragam. Para Menteri merupakan orang yang dekat dan memiiki itnesitas hubungan yang baik dengan sang raja, sehingga seluruh problem rakyatnya akan tersampaikan.
Mengibaratkan Allah seperti raja bukan hanya salah tetapi menghinakan Allah. kalau raja seorang makhluk yang memiliki sangat banyak keterbatasan sementara Allah merupakan Dzat yang memiliki segalanya. Allah mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, termasuk mengetahui isi hati yang ada di dalam dada para hamba-Nya. Termasuk mengetahui Nasib dan masa depan serta waktu kematian seluruh makhluk-Nya. Bahkan kekuasaaan Allah mampu mengatur dan mengontrol seluruh benda yang ada di langit dan bumi secara detail.
Hal ini berbeda dengan seorang raja, yang tidak lain memiliki sifat manusia. Dengan kekuasaannya, dia menahan kebutuhan rakyatnya karena dia sendiri masih membutuhkannya. Dia tak berbagi sehingga sulit tercipta keadilan, sementara dirinya masih berkeinginan untuk menumpuk kekayaan untuk keluarganya. Demikian pula terciptanya persatuan dan masyarakat yang beradab sulit diwujudkan karena raja sendiri masih diliputi kerakusan dan ketamakan. Kerakusan dan ketamakan ini telah menutup mata berbagai ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Pemurnian penyembahan hanya kepada Allah akan menggerakkan seorang hamba untuk berperilaku mulia, baik kepada Tuhannya maupun kepada sesama. Perilaku mulia itu diyakini akan mendapat balasan kebaikan. Sementara mencampuradukkan penyembahan merupakan puncak perbuatan hina di hadapan Allah. Allah sebagai pencipta dan Pemberi kehidupannya, tetapi justru tidak mengagungkan dengan pengagungan yang layak. (*)
Surabaya, 26 Juli 2025
