Posisi Strategis Hadis Sebagai Sumber Ajaran Setelah Al-Qur’an

Agung Danarto, Ketua PP Muhammadiyah
www.majelistabligh.id -

Dalam tradisi Islam, hadis menempati posisi strategis sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an. Hadis tidak hanya membentuk kerangka ibadah, tetapi juga menjadi fondasi akidah dan etika sosial umat Islam. Hadis memiliki otoritas fundamental dalam bangunan ajaran Islam, sekaligus menuntut cara pemaknaan yang cermat dan kontekstual di tengah tantangan zaman.

Hal ini disampaikan oleh Dr.H. Agung Danarto, M.Ag., Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Musyawarah Tarjih Wilayah (Musytarwil) Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang digelar di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Ahad (14/12/2025).

Agung menembahkan, otoritas tersebut memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, di antaranya firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 80, “Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah,” serta QS. Al-Hasyr ayat 7, “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Ia mengingatkan bahwa di era globalisasi dan digitalisasi, hadis menghadapi tantangan serius. Arus informasi yang tidak terverifikasi, terutama melalui media sosial, telah mempermudah penyebaran hadis palsu (maudhu’) dan pemahaman yang terpotong-potong. Kondisi ini kerap memicu polarisasi di tengah umat, bahkan memengaruhi cara umat Islam merespons isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender, pluralisme, krisis lingkungan, hingga pandemi.

Persoalan utama yang perlu dijawab oleh kalangan ulama dan cendekiawan Muslim hari ini adalah bagaimana meneguhkan otoritas hadis dalam kerangka ushul fikih, sekaligus memaknainya secara tepat tanpa menghilangkan keaslian dan pesan normatifnya. “Pemaknaan hadis tidak boleh lepas dari disiplin keilmuan, tetapi juga tidak boleh membeku sehingga kehilangan relevansinya,” ujarnya.

Dalam kerangka ushul fikih, Agung menjelaskan bahwa hadis berfungsi sebagai hujjah syar’iyyah kedua setelah Al-Qur’an. Hadis menjadi penjelas (bayān) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat global. Ia mencontohkan hadis Rasulullah SAW tentang tata cara shalat, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat,” sebagai bukti bahwa praktik ibadah tidak dapat dilepaskan dari sunah Nabi.

Dalam aspek akidah, Agung menegaskan bahwa hadis tetap menjadi rujukan utama dalam memahami rukun iman dan keyakinan dasar Islam, sebagaimana tergambar dalam Hadis Jibril. Namun, ia mengingatkan bahwa sebagian hadis—terutama yang berkaitan dengan kosmologi atau gambaran metafisik—perlu dibaca secara bijak agar tidak berbenturan secara kaku dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Sementara dalam bidang ibadah, Agung menekankan bahwa fleksibilitas hukum Islam justru bersumber dari pemahaman hadis yang benar. Ia mencontohkan bagaimana prinsip-prinsip dalam hadis memungkinkan adaptasi ibadah dalam situasi darurat, seperti pelaksanaan shalat di kendaraan atau kebijakan pembatasan aktivitas ibadah berjamaah selama pandemi COVID-19. Hadis Nabi tentang larangan memasuki wilayah wabah, menurutnya, menjadi dasar etis dan syar’i bagi upaya menjaga keselamatan jiwa.

Lebih jauh, Agung menyoroti peran hadis dalam membentuk etika sosial Muslim kontemporer. Nilai-nilai keadilan, kepedulian terhadap sesama, relasi gender yang berkeadaban, etika ekonomi, hingga tanggung jawab lingkungan hidup, semuanya memiliki akar kuat dalam sunnah Nabi. Hadis tentang larangan riba, anjuran berbuat baik kepada tetangga, serta larangan berlebih-lebihan dinilai sangat relevan untuk menjawab tantangan kapitalisme eksploitatif dan krisis ekologi global. (*/tim)

Tinggalkan Balasan

Search