PP ‘Aisyiyah Prihatin Minimnya Kesempatan Kerja Bagi Penyandang Disabilitas

Para penyandang disabilitas menuntut kesempatan kerja yang setara. (lip.6)
www.majelistabligh.id -

Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah merasa prihatin dengan banyaknya kendala lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) saat memasuki dunia kerja. Hambatan utama yang dihadapi lulusan SLB bukan hanya terbatasnya jalur menuju pekerjaan formal, tetapi juga minimnya pengalaman terkait proses rekrutmen dalam dunia kerja sesungguhnya.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, mengatakan bahwa saat ini masih ada stigma yang melekat di masyarakat tentang orang dengan disabilitas. Juga ada kecemasan masa depan di kalangan pemuda dengan disabilitas, serta kepatuhan yang belum optimal dari sektor pemerintah dan swasta terhadap regulasi ketenagakerjaan inklusif.

“Kami ingin memastikan bahwa transisi menuju pekerjaan dimulai sejak bangku sekolah, bukan setelah mereka lulus dan merasa bingung menghadapi dunia kerja,” Tri Hastuti Nur Rochimah dengan nada prihatin.

Menurut Tri Hastuti, tantangan seperti ini sudah sering disampaikan dalam berbagai forum. Bahkan dalam forum Australasian Aid Conference (AAC) 2025 yang berlangsung di Acton Theatre, Crawford School of Public Policy, Australian National University (ANU), Canberra, pihaknya menegaskan kembali pentingnya sistem transisi yang lebih kuat dari pendidikan ke dunia kerja bagi penyandang disabilitas.

Dalam presentasinya berjudul “From Uncertainty to Hope: Promoting Inclusive Employment for Persons with Disabilities,” Tri Hastuti mengungkap bahwa ‘Aisyiyah melalui Program INKLUSI, berupaya memberikan dukungan menyeluruh melalui pelatihan kesiapan kerja bagi siswa dan alumni SLB. Pelatihan ini untuk kesiapan lulusan SLB memasuki dunia kerja yang sesungguhnya.

Upaya tersebut mencakup Training of Trainers (ToT) untuk guru SLB tentang kesiapan kerja dan Social Emotional Learning, pelatihan soft skills serta bimbingan karier, advokasi rekrutmen inklusif, penguatan peran keluarga melalui sesi parenting, hingga kolaborasi dengan pemerintah dan dunia usaha untuk membuka peluang magang dan penempatan kerja.

Ia menegaskan bahwa perubahan ini memiliki dampak luas, terutama dalam mengubah cara pandang publik terhadap disabilitas. Menurutnya, ketika ruang kesempatan dibuka dan dukungan yang tepat diberikan, pemuda dengan disabilitas mampu menunjukkan potensi dan produktivitas yang setara. “Pengalaman kami di berbagai daerah menunjukkan bahwa mereka bukan hanya mampu bekerja, tetapi juga memberikan kontribusi ekonomi dan sosial yang signifikan,” tambahnya.

Tri Hastuti menekankan bahwa kebijakan ketenagakerjaan inklusif tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus melibatkan seluruh ekosistem pelayanan—pendidikan, ketenagakerjaan, sosial, dan sektor privat.

“Kita membutuhkan sistem yang bergerak bersama. Sekolah, keluarga, pemerintah, dan dunia usaha harus menjadi satu mata rantai yang memastikan bahwa setiap pemuda dengan disabilitas mendapatkan akses, dukungan, dan keberpihakan yang nyata,” ujarnya.

Tri juga menyampaikan harapannya bahwa praktik baik dari Indonesia dapat memberikan kontribusi bagi pembelajaran global. “Kami percaya bahwa inklusi bukan hanya agenda sosial, tetapi agenda masa depan. Ketika setiap orang memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkontribusi, di situlah pembangunan yang sesungguhnya terjadi,” tutupnya. (*/nun)

Tinggalkan Balasan

Search