PR Besar Muhammadiyah: Mencetak Ulama Masa Depan

Ustadz Dr.H. Ghoffar Ismail, S.Ag., MA.
*) Oleh : Ustadz Dr.H. Ghoffar Ismail, S.Ag., MA.
Anggota Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
www.majelistabligh.id -

Kita semua bangga pada Muhammadiyah. Organisasi ini seperti supermarket amal: punya ratusan kampus, ribuan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan yang tersebar di mana-mana. Tapi, di balik kebesaran itu, ada satu isu yang diam-diam mengkhawatirkan: kita sedang kekurangan Ulama Inti. Bukan sekadar kurang, tapi defisit.

Kita butuh ulama yang tidak hanya pandai mengajar di kelas (akademis), tapi juga tangguh berfatwa (tarjih), punya jiwa kepemimpinan (manajerial), dan yang paling penting, punya hati yang bersih serta spiritualitas yang dalam (shalih). Mereka memiliki pemahaman al-Qur’an yang memadai dan turats Islam.

Anggap saja menghasilkan ulama itu seperti menanam pohon jati. Tidak bisa panen besok. Apa yang kita tanam hari ini, hasilnya baru dinikmati generasi mendatang. Krisis kita saat ini adalah buah dari generasi masa lalu.

Orientasi Masa Lalu: Sekolah vs. Pesantren

Di masa Orde Baru, Muhammadiyah mengambil keputusan strategis (dan sukses) untuk fokus pada sekolah formal. Ini hebat untuk mencerdaskan bangsa, tapi ada efek sampingnya:

Pertama, Pendidikan Agama Intensif Terabaikan: Kita lebih fokus membangun gedung sekolah daripada menopang pesantren. Pendidikan agama intensif (talaqqi), mendalami kitab-kitab klasik (turats), dianggap kurang menarik, bahkan kadang dicap “kolot”.

Kedua, Kaderisasi Instan: Banyak yang mengira kaderisasi cukup dengan pelatihan kilat seperti Baitul Arqam (BA) atau Darul Arqam (DA). Padahal, untuk jadi ulama yang bisa berfatwa, kita butuh penempaan yang ketat, lama, dan kurikulum yang sangat fokus.

Ketiga, Kesenjangan Jumlah: Bayangkan, kita punya ratusan kampus dan ribuan sekolah, tapi lembaga pencetak ulama sejati seperti PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) hanya ada 3-5 tempat di seluruh Indonesia, dan lulusannya cuma puluhan per tahun. Ini jelas tidak sebanding!

Ulama yang “Datar” dan Sikap Takzim

Masalahnya bukan cuma kuantitas, tapi juga kualitas feel-nya. Muhammadiyah sangat menjunjung tinggi rasionalitas (Burhani). Ini bagus, tapi kadang membuat ulama kita cenderung tampil sebagai “cendekiawan efisien” yang jago analisis, tapi kurang terasa sebagai “pembimbing spiritual” yang menyejukkan hati (Irfani).

Efek sampingnya adalah Mixed Methods Appraisal Tool (Mmat), terutama anak muda, merasa bimbingan spiritualnya kurang tersentuh. Secara budaya, kita juga menghadapi isu sikap takzim (rasa hormat) yang proporsional. Saking rasionalnya warga Muhammadiyah, terkadang kita kehilangan rasa hormat yang mendalam kepada ulama, padahal penting untuk menjaga wibawa pemimpin agama.

Solusi Total: Mengamankan Ulama di Seluruh Lini

Kini, kesadaran itu sudah muncul. Solusi tidak bisa hanya membenahi PUTM, tapi harus total, struktural, dan kultural. Inilah tiga pilar utama yang harus kita kerjakan bersama:

Pilar I: Meng-Alqur’ankan Seluruh Pimpinan (Strategi Struktural)

Kunci utama adalah menguatkan pondasi Bayani (teks agama) di seluruh lapisan Persyarikatan, bukan hanya di pesantren. Pertama, Kebijakan Wajib Al-Qur’an oleh Diktilitbang: Ini adalah kebijakan paling strategis! Pimpinan Pusat harus segera mewajibkan seluruh pimpinan, dosen, dan staf memiliki target penguasaan Al-Qur’an (membaca, menerjemah, memahami, dan tahfidz) dengan persentase yang terukur. Bayangkan, jika Rektor harus menguasai 80% pemahaman Al-Qur’an, betapa dahsyatnya efek massal ini!

Kedua, Amankan Aset Tahfidz PTMA: Kampus-kampus Muhammadiyah sudah mengalokasikan miliaran rupiah untuk beasiswa tahfidz. Kita tidak boleh membiarkan potensi ini lari keluar! Setiap penerima beasiswa harus diikat wajib pengabdian minimal 1-2 tahun di amal usaha Muhammadiyah setelah lulus. Investasi Persyarikatan harus kembali kepada Persyarikatan.

Ketiga, Revitalisasi Ma’had Bahasa Arab Eks. AMCF: Pimpinan Pusat wajib mengamankan dan mengaktifkan kembali 19 Ma’had Bahasa Arab hibah AMCF yang tersebar di PTMA. Aset ini adalah jalur cepat untuk mencetak kader yang menguasai Bahasa Arab dan Tahfidz.

Pilar II: Integrasi Penempaan Kader (Strategi Pendidikan)

Kurikulum di seluruh lini harus menghasilkan ulama yang seimbang: Pertama, PUTM sebagai Model Ideal: Kerangka kurikulum baru PUTM yang menggabungkan Bayani-Burhani-Irfani harus dijadikan “standar emas” dan diadaptasi secara tematik ke dalam kurikulum PAI/AIK di seluruh PTMA dan pesantren.

Kedua, Pengabdian Wajib Total: Alumni dari semua lembaga ulama (PUTM, Pesantren Unggul, Lulusan Luar Negeri) harus diikat dengan pengabdian wajib 3 tahun di daerah-daerah yang paling membutuhkan. Ketiga, Prioritas Anggaran ke Pesantren: Mengubah fokus dana dari hanya gedung kampus ke penguatan kualitas 400+ pesantren agar mampu mencetak ulama handal.

Pilar III: Membangun Budaya Takzim (Strategi Kultural)

Kaderisasi tidak akan kokoh tanpa dukungan budaya: Pertama, Kembalikan Budaya Talaqqi: Mendorong masjid, kantor, dan majelis taklim untuk menghidupkan kembali kajian Al-Qur’an dan Turats secara mendalam (bukan hanya ceramah ringan), untuk menumbuhkan budaya belajar serius. Kedua, Edukasi Takzim: Mengedukasi warga bahwa takzim kepada ulama yang berintegritas adalah cara menjaga wibawa Persyarikatan, bukan berarti meninggalkan rasionalitas.

Penutup: Menanam Pohon Jati untuk Masa Depan

Krisis ulama adalah warning bagi Muhammadiyah, tapi sekaligus momentum untuk perubahan struktural. Solusi tidak ada di satu tempat (PUTM), melainkan pada kesadaran kolektif untuk berinvestasi pada spiritualitas dan ilmu agama di seluruh lini. Jika kita serius menggarap kebijakan massifikasi Al-Qur’an dan mengamankan aset kader saat ini, kita sedang menanam pohon jati yang hasilnya akan dipanen oleh anak cucu kita. Saatnya bergerak dari organisasi kaya aset fisik menjadi organisasi yang kaya Ulama Berintegritas. (*)

Tinggalkan Balasan

Search