Psikolog UMM: Skor IQ Tidak Bisa Dijadikan Label Kecerdasan Suatu Bangsa

May Lia Elfina, M.Psi., Psikolog., Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (ist)
www.majelistabligh.id -

Skor Intelegence Quotient (IQ) tidak bisa dimaknai secara sederhana, apalagi dijadikan label kecerdasan suatu bangsa. Angka IQ diperoleh melalui tes psikologi standar dengan kerangka ukur tertentu. Karena itu, membahas IQ tanpa memahami konsep dan metodologinya, berpotensi melahirkan kesimpulan keliru.

Hal ini disampaikan oleh May Lia Elfina, M.Psi., Psikolog, dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menanggapi isu skor IQ penduduk Indonesia yang disebut berada di angka 78. Angka tersebut memicu perbandingan antarnegara hingga muncul narasi sensasional yang menyesatkan.

Berdasarkan data yang dirilis oleh World Population Review pada tahun 2022, rata-rata skor IQ penduduk Indonesia tercatat berada di angka 78,49. Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-130 dari 199 negara yang disurvei di seluruh dunia. Meskipun angka ini hanyalah sebuah indikator statistik dan bukan penentu mutlak potensi seseorang, data tersebut memberikan gambaran umum mengenai tantangan sumber daya manusia yang dihadapi bangsa ini.

May menjelaskan, IQ pada dasarnya merupakan indikator kemampuan kognitif umum, seperti penalaran, pemecahan masalah, pemahaman verbal, dan kemampuan belajar. Data tersebut perlu dibaca dengan sangat hati-hati.

“Menurut saya itu data yang tidak representatif, karena bisa jadi merupakan kompilasi dari berbagai sumber dengan metodologi, alat ukur, dan jumlah sampel yang berbeda-beda. Ini yang perlu ditinjau ulang,” jelasnya May, yang dirilis oleh Humas UMM.

Ia menambahkan, dalam kajian psikologi, kemampuan kognitif suatu bangsa tidak dapat direduksi menjadi satu angka agregat. Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam, mulai dari kisaran 70-an hingga di atas 90, tergantung alat tes dan konteks penelitian yang digunakan.

May juga menyoroti munculnya klaim bahwa IQ penduduk Indonesia mendekati IQ Gorila. Menurutnya, perbandingan tersebut merupakan kesalahan interpretasi ilmiah yang serius. “Penelitian tentang kecerdasan Gorila sendiri masih pro dan kontra. Gorila jelas bukan manusia, baik secara biologis maupun psikologis,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa skor IQ sangat dipengaruhi faktor lingkungan, terutama dalam konteks lintas budaya. Perbedaan bahasa, budaya, akses pendidikan, hingga kondisi kesehatan dapat memengaruhi hasil tes. Karena itu, IQ tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial dan struktural masyarakat.

May juga menolak anggapan bahwa IQ adalah penentu utama kesuksesan hidup. Menurutnya, keberhasilan seseorang lebih banyak dipengaruhi faktor lain, seperti motivasi, kepribadian, kecerdasan emosional dan sosial, kreativitas, serta lingkungan yang mendukung.

IQ bukan vonis yang bersifat tetap, karena IQ bisa berkembang jika lingkungannya mendukung. Ia berharap publik lebih bijak memaknai kecerdasan dan mulai menaruh perhatian pada pemenuhan gizi, stimulasi dini, serta pemerataan pendidikan dan kesehatan sebagai fondasi kualitas sumber daya manusia bangsa. (*/tim)

Tinggalkan Balasan

Search