Puasa, Sabar, dan Rahasia Manis di Baliknya

Puasa, Sabar, dan Rahasia Manis di Baliknya
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana

Adalah sebuah kebahagiaan yang teramat besar bagi kita bahwa tahun ini kita dapat bertemu kembali dengan bulan Ramadan. Dengan berpuasa pada bulan ini, kita memiliki kesempatan untuk mengasah kembali kesabaran kita.

Fitrah atau naluri manusia itu selalu ingin mendapatkan kesenangan. Puasa sebagai pengekangan beberapa hal seperti makan-minum, berhubungan suami istri, ya tentu bisa dimaknakan seperti membatasi kesenangan. Maka ada proses untuk mengendalikan diri, dan itulah kesabaran.

Puasa juga di satu sisi itu merupakan batu uji yang sangat nyata di dalam kita berinteraksi sosial yang lebih sehat. Jadi interaksi sosial kita ini menurut saya banyak sekali diwarnai ketidakmampuan kita mengendalikan diri di dalam konteks yang sempit maupun konteks yang luas.

Konteks yang sempit dalam konteks secara individual, kita kurang mampu mengendalikan diri kita terhadap, misalnya, keinginan mendapatkan harta sehingga menempuh jalan yang tidak baik, melalui pungutan-pungutan tambahan. Melatih kesabaran memang berat dan terkadang pahit, namun buahnya sangat manis.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153)

Dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa Allah Azza wa Jalla bersama orang-orang yang sabar. Apakah ada yang lebih indah dan apakah ada yang lebih manis dari kebersamaan dengan Allah Azza wa Jalla?

Bahkan Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)

Sabar itu dalam bahasa Arab, secara bahasa sabar berarti radhiya (ridha), tajallada (mengikat), tahammala (bertahan), ihtamala (menahan), dan dalam menghadapi sesuatu fi huduu’ wa ithmi’naan (dalam ketenangan) dan duuna syakwaa (tanpa mengeluh). Namun tentunya untuk mencapai tingkatan itu tidaklah mudah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al Baqarah: 45)

Mengapa berat? Karena sebagaimana arti bahasanya sendiri, dalam bersabar kita harus mampu menahan diri dan bertahan dari hal-hal yang menggoda kita, dari hal-hal yang tampaknya begitu menyenangkan dan memberikan kenikmatan…

Jika kita berkaca dari kisah Nabi Yusuf dalam Al-Quran. Setidaknya ada 3 jenis kesabaran yang harus kita asah. Yaitu sabar menahan amarah, melawan godaan nafsu, dan menghadapi cobaan:

Bentuk kesabaran yang pertama adalah sabar dalam menahan amarah yang ditunjukkan oleh Nabi Yusuf. Di penghujung kisah Nabi Yusuf, saat Nabi Yusuf telah menjadi orang besar dan para saudaranya yang dahulu kini meminta maaf padanya, beliau tidak memarahi ataupun mencaci maki. Justru beliau berkata,

قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ

“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf: 92)

Bayangkan, bukan hanya tidak mencela, beliau bahkan mendoakan dan menghibur saudara-saudaranya tersebut. Luar biasa tingkat kesabaran yang beliau tunjukkan.

Dan sungguh tepat momentum Ramadhan ini kita gunakan untuk lebih bersabar dalam menahan amarah. Dalam kitab Shahih Muslim kita menemukan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

“‏ إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ ‏”

“Jika salah seorang di antara kamu berpuasa, hendaklah dia tidak berkata-kata yang kotor ataupun melakukan perbuatan yang bodoh. Dan jika ada seseorang yang mencelanya atau mengajaknya bertengkar maka hendaklah ia berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang berpuasa, sesungguhnya aku seorang yang berpuasa.” (HR. Muslim)

Yang kedua, kita harus sabar melawan godaan hawa nafsu. Ketika Nabi Yusuf beranjak dewasa, ia sempat digoda oleh seorang wanita yang begitu cantik dan mempesona untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Bagaimana sikap beliau? Beliau berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dan berlari menjauhi godaan itu. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۗقَالَ مَعَاذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ

“Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23)

Yang ketiga, kita juga harus sabar dalam menghadapi musibah. Dalam Surat Yusuf Allah Azza wa Jalla mengisahkan bagaimana sang Raja bermimpi melihat melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai gandum yang hijau dan tujuh tangkai lainnya yang kering.

Nabi Yusuf menta’wilkan mimpi itu sebagaimana berikut:

“Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun berturut-turut sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.

Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari bibit gandum yang kamu simpan.

Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan dengan cukup dan pada masa itu mereka memeras anggur.” (QS. Yusuf 47-49)

Dapat kita lihat bahwa dengan kesabaran selama tujuh tahun mereka melewati cobaan berupa masa-masa sulit. Akhirnya membuahkan hasil yang begitu manis.

Berdasarkan kisah Nabi Yusuf tersebut kita dapat memetik ibrah (pelajaran) agar kita dapat senantiasa bersabar dalam segala ujian dan cobaan dari Allah Azza wa Jalla. Karena di balik kesabaran itulah Allah Azza wa Jalla membersamai kita. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *