Apakan mau “ittiba’” Amerika yang bermadzhab Liberal, yang dengan gagahnya dilambangkan dengan Patung Liberty, dengan dibuat sebebas-bebasnya untuk mendapatkan Gold, Glory, and Good [bukan Gospel lagi). Seperti yang ditandatangani oleh Michel Camdessus dari IMF yang mensyaratkan privatisasi BUMN—di dalamnya adalah kekayaan alam Indonesia? Sehingga kekayaan negara dengan segala isinya mau diobral untuk memenuhi nafsu serakahnya?
Jadi, “core” masalahnya bukan “ikut menikmati” limpahan nikmat tambang? Seperti yang dinikmati segelintir orang atau kelompok orang selama ini, namun adalah dalam kerangka mengembalikan kekayaan negara dan seisinya dikelola dan dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat seluruhnya. Bila negara bisa ngatur dengan aturan yang bagus, dan aparatur menjadi aparatur yang bersih, semua akan dapat bagian yang adil, termasuk Muhammdiyah, NU, Persis, NW, dll. Muhammadiyah seharusnya menjadi pejuang (mujahid) yang mengembalikan wewenang negara untuk menguasai kembali kekayaan alamnya ke pangkuan ibu pertiwi, bukan malah menjadi bagian dari yang menikmati Privatisasi kekayaan negara.
Selama ini, kekayaan alam, kekayaan negara Indonesia, banyak dinikmati oleh segelintir orang dan kelompok, bukan rakyat banyak. Di sini intinya. Ormas jangan menjadi bagian oligakhi baru, menambahi jumlah oligakhi lama.
Kalau di suatu negara banyak yang menjadi koruptor, lalu jangan latah ikut-ikutan menjadi koruptor; jikalau di suatu kampung pekerjaan warganya menjadi penadah barang Spanyol, maka jangan latah ikut-ikutan menjadi penadah; kalau di suatu daerah banyak menjadi mucikari, jangan latah ikut-ikutan menjadi “mami-mami”; kalau ada bagian masyarakat ada yang melanggar konstitusi, jangan latah menjadi bagian yang melanggar konstitusi.
Muhammadiyah biasanya menjadi pioner pembaharuan, menjadi mujtahid, menjadi pemikir yang memikirkan baiknya kondisi bangsa dan negara, tidak menjadi muqallid. Muhammadiyah biasanya menjadi mujahid, pejuang kekuatan moral untuk menjadi pendobrak kebekuan etik akibat terlalu banyak makan dosa.
Muhammadiyah seharusnya tidak latah ikut-ikutan menjadi “VOC baru” untuk mengeruk “tetesan” embun tambang (tricle down effect) dengan alasan ikut menikmati lezatnya hasil tambang [padahal sisa-sisa], untuk membangun isi ormasnya.
Jika, tidak menjadi mujahid yang memperjuangkan kembalinya segala macam kekayaan negara untuk dimiliki kembali oleh negara, jangan menjadi “muqallid” bahkan menjadi “amil” dengan ikut menjadi bagian oligarkhi tambang. Dengan ikutnya, maka akan menjadi justifikasi (pembenar) adanya perilaku penambangan di luar negara, sehingga kekayaan negara, benar saja manakala di-obral kepada siapa saja, yang penting dekat dan mendukung kekuasaan yang mengobral.
Bila memakai kacamata hijau, rumput kering pun akan kelihatan hijau. Apalagi kalau pakai kacamata kuda, yang kelihatan hanya di depannya saja, repot kalau tidak bisa melihat samping dan belakang.
Sebelum terlambat, tengoklah orang-orang jujur dan pejuang HAM dari internal Muhammadiyah sendiri, seperti Dr. Dien, Dr. Busyro Muqaddas, Dr. Sukidi, dan para kritisi keluarga MD lainnya, yang sejak awal menolak konsesi, agar konsesi tersebut dikembalikan ke Negara. Negaranya dibenahi agar tidak menyerahkan pengelolaan tanah, air, udara, dan seisinya kepada kelompok tertentu dan atau orang tertentu, namun negara yang mengelola dengan pengelolaan yang benar. (*)
