Satire Cak Lontong: Orang yang Tertangkap Korupsi, Baru Disebut Koruptor

KPK menunjukkan barang bukti sitaan uang hasil korupsi. (ist)
*) Oleh : Chusnun Hadi
Editor majelistabligh.id
www.majelistabligh.id -

Dalam satu kesempatan, Lies Hartono, atau yang kita kenal sebagai Cak Lontong, melakukan stand up comedy di salah satu televisi. Dalam open mic tersebut, Cak Lontong melontarkan pandangannya tentang korupsi dan koruptor. Bagi Cak Lontong, korupsi dan koruptor dimaknai berbeda di Indonesia.

“Apa bedanya korupsi dan koruptor. Koruptor adalah orang yang korupsi, itu tidak selalu benar. Tidak semua orang yang korupsi itu koruptor. Sebab koruptor adalah orang yang tertangkap melakukan korupsi. Selama belum tertangkap,  mereka masih tetap sebagai pejabat, bukan koruptor.”

Penonton pun tertawa. Sebab hal itu diungkapkan saat melalukan stand up comedy. Penonton pun menganggap itu adalah sebuah lelucon biasa yang pantas diapresiasi dengan tawa dan tepuk tangan. Padahal, jika kita renungkan lebih dalam, apa yang dikatakan Cak Lontong adalah sebuah kritik pedas dengan satire yang khas, bagi para pejabat di Tanah Air.

Makna yang diungkapkan oleh Cak Lontong adalah, korupsi ada di mana-mana. Korupsi mungkin juga dilakukan banyak pejabat di Indonesia. Tetapi mereka masih bisa lelulasa hidup penuh dengan hedonisme, gaya hidup mahal, dan memiliki power yang kuat. Kalau mereka tertangkap oleh pihak yang berwenang, barulah masyarakat menilai orang tersebut adalah koruptor.

Menurut Cak Lontong, penyebab kasus korupsi di Indonesia tak kunjung diselesaikan karena para pejabat dan elit politik menganggap korupsi itu adalah PR. Kalau PR, tidak harus diselesaikan sekarang, tapi nanti juga bisa. Kasus korupsi bisa diselesaikan jika para pejabat dan elit politik menganggap korupsi itu seperti ujian. Karena bersifat ujian, sehingga harus dikerjakan saat itu juga.

Tak Pernah Surut

Kasus korupsi di Indonesia seolah tak pernah surut. Penangkapan pejabat publik yang terlibat korupsi terus menghiasi layar media. Mereka adalah pata elite, memiliki jabatan tinggi dan penghasilan yang terbilang besar.

Dalam teori GONE yang ditulis oleh Jack Bologna, tindakan korupsi terjadi karena empat faktor utama: Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan).

Menurut Bologna, keserakahan menjadi pemicu utama. Ketika seseorang tidak pernah merasa cukup, ditambah dengan adanya peluang serta gaya hidup hedonis yang tidak seimbang dengan pemasukan, maka potensi korupsi semakin besar. Apalagi penegakan hukum terhadap koruptor tidak memberikan efek jera.

Teori lain ditulis oleh Fraud Triangle, yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey. Berdasarkan wawancara dengan para koruptor yang telah ditangkap, Cressey menyimpulkan bahwa terdapat tiga unsur utama dalam proses terjadinya korupsi: pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi).

Tekanan dapat muncul dari masalah ekonomi atau kebutuhan pribadi. Kesempatan hadir ketika sistem pengawasan lemah, sehingga pelaku menyalahgunakan wewenang. Rasionalisasi muncul saat pelaku membenarkan perbuatannya dengan berbagai alasan, misalnya karena merasa gaji tidak layak atau perusahaan tidak membagi keuntungan secara adil.

Data korupsi tahun 2025 menunjukkan adanya peningkatan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menjadi 37 dari sebelumnya 34 (ukuran 0-100. Semakin besar skornya semakin rendah tingkat korupsinya). Indonesia masih berada di peringkat 110 dari 180 negara.

KPK telah banyak mengungkap kasus-kasus besar seperti korupsi Pertamina dan PT Timah. Operasi tangkap tangan pun juga banyak terjadi. Tetapi sampai saat ini korupsi tak pernah surut. Justru semakin meningkat.

Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) ditetapkan setiap 9 Desember, diawali dari munculnya kesadaran anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bahwa korupsi membawa dampak buruk bagi kehidupan dan untuk menumbuhkan kesadaran publik tentang bahaya yang begitu luar biasa dari korupsi.

Benar kata Cak Lontong, korupsi ada di semua sektor, baik di pemerintahan mulai dari pusat, kementerian, provinsi, hingga kabupaten/kota, juga pihak swasta yang menginginkan fasilitas lebih dari pemerintah. Jadi, tidak semua orang yang korupsi itu koruptor. Sebab koruptor adalah orang yang tertangkap melakukan korupsi. Ha…ha…ha. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search